HADITS SHAHIH
A.
Pengertian
Hadis Shahih
Kata
shahih dalam bahasa diartikan orang sehat
antonim dari kata as-saqim = orang yang sakit jadi yang dimaksud hadis shahih adalah hadis
yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat.[1]
Shahih
menurut bahasa adalah kebalikan dari saqim
(yang berpenyakit), dapat pula bermakna haq,
lawan dari yang bathil.[2]
Kata
sahih menurut bahasa dari kata shahha,
yashihhu, shuhhan, wa shihhatan wa shahahan, yang menurut bahasa berarti
yang sehat, yang selamat, yang benar, yang sah, dan yang sempurna. Para ulama
biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari kata saqim (sakit). Maka kata hadis shahih menurut bahasa berarti hadis
yang sah, hadis yang sehat, atau hadis yang selamat.[3]
Shahih
menurut istilah ilmu hadis ialah : ”Satu hadis yang sanadnya bersambung dari
permulaan sampai akhir, disampaikan oleh orang-orang yang adil, memiliki
kemampuan menghafal yang sempurna (dhabith),
serta tidak ada penyelisihan dengan perawi yang lebih terpercaya darinya (syadz) dan tidak ada ‘illat yang berat”.[4]
Ibn
ash-Shalah mendefinisikan hadis shahih adalah Musnad yang sanadnya bersambung-sambung melalui periwayatan orang yang
adil lagi dhabith (sempurna ingatannya) dari orang yang adil lagi dhabith pula
sampai ujungnya, tidak syadz (janggal) dan tidak mu’allal (terkena ‘illat).[5]
Ibn
Hajar al-Asqalani mendefinisikan dengan ringkas yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna
ke-dhabith-annya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat dan tidak syadz.[6]
B.
Syarat-Syarat
Hadis Shahih
Dari
uraian definisi tersebut jelaslah bahwa hadis shahih harus memenuhi lima syarat
yaitu :[7]
v Sanadnya
tidak terputus, dengan syarat ini , dikecualikan hadis yang tidak memenuhi
kriteria muttasil sanadnya.
v Perawi-perawinya
adil.
Yang
dimaksud adil adalah orang yang lurus agamanya, baik akhlaknya dan bebas dari
kefasikan dan hal-hal yang menjatuhkan keperwiraannya (kepribadian). Dalam
menilai keadilan seseorang tidak harus meneliti ke lapangan langsung, dengan
cara bertemu langsung. Hal ini sangat sulit dilakukan karena mereka para perawi
hadis hidup pada abad awal dalam perkembangan islam.
Kecuali bagi orang yang hidup bersamanya atau
yang hidup sezaman. Oleh karena itu dalam menilai keadilan seorang periwayat
hidup cukup dilakukan dengan salah satu teknik berikut :
a. Keterangan
seorang atau beberapa ulama ahli ta’dil bahwa
seseorang itu bersifat adil.
b. Ketenaran
seseorang bahwa ia bersifat adil, seperti Imam empat Hanafi, Maliki,
Asy-Syafi’i, dan Hambali.
v Yang
diriwayatkan tidak syadz
(penyimpangan oleh perawi tsiqah
terhadap orang yang lebih kuat darinya).
v Yang
diriwayatkan terhindar dari ‘illat
qadihah (sifat yang mencacatkannya).
v Perawi-perawinya
dhabith,
Yang
dimaksud dhabith adalah orang yang
benar-benar sadar ketika menerima hadis, paham ketika mendengarnya dan
menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya.
Sifat
dhabith ada dua macam yaitu :
a. Dhabith
dalam dada, artinya memiliki daya ingat dan hafal yang kuat sejak ia menerima
hadis dari guruya.
b. Dhabith
dalam tulisan, artinya tulisan hadisnya sejak mendengar dari gurunya terpelihara
dari perubahan.
C.
Macam-Macam
Hadis Shahih
Hadis
shahih terbagi menjadi dua macam yaitu :[8]
v Shahih
Li Ghairihi
Shahih
Li Ghairihi artinya suatu hadis yang shahih karena yang lainnya, yakni menjadi
sah karena dikuatkan dengan jalan (sanad)
atau keterangan lain. Sedangkan menurut definisi jumhur muhaditsin adalah :
“Hadis yang keadaan rawi-rawinya kurang
hafidh dan dhabith, tetapi mereka dikenal orang yang jujur, karenanya
berderajad hasan. Lalu didapati darinya jalan lain yang serupa atau lebih kuat,
yang dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu”.
Contoh
Hadis Shahih Li Ghairihi, sebagaimana hadis Bukhari dari Ubai Ibn Al Abas Ibn
Sahal dari ayahnya (Abbas) dari neneknya (Sahal), katanya :
“Konon Rasulullah Saw mempunyai
seekor kuda, ditaruh di kandang kami yang diberi nama al Luhaif”.
Ada
beberapa macam Shahih Li Ghairihi, menurut ketetapan ahli hadis antara lain :
a) Hadis
hasan li dzatihi dikuatkan dengan jalan lain yang sama derajatnya.
b) Hadis
hasan li dzatihi dibantu dengan beberapa sanad walaupun sanadnya berderajat
rendah.
c) Hadis
hasan li dzatihi atau hadis lemah yang isinya setuju dengan salah satu
ayat-ayat al-Qur’an atau cocok dengan salah satu dari pokok-pokok agama.
d) Hadis
yang tidak begitu kuat , tetapi diterima baik oleh ulama.
Shahih
li ghairihi adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat secara maksimal.
Misalnya perawinya yang adil tidak sempurna kedhabithannya. Dengan demikian shahih li ghairihi adalah hadis yang
keshahihanya ada faktor lain, karena
tidak memenuhi syarat secara maksimal.
v Shahih
Li Dzatihi
Shahih
li dzatihi artinya suatu hadis yang sah karena dzatnya, yakni yang shahih
dengan tidak mendapatkan bantuan dari keterangan yang lain.
Dengan
demikian shahih lidzatihi adalah hadis shahih yang memenuhi syarat secara
maksimal.
Contohnya
sebuah hadis yang berbunyi :
“Bukhari berkata, “Telah
menceritakan kepada kami, Abdullah Ibn Yusuf, (ia berkata) telah mengabarkan
kepada kami, Malik, dari Nafi, dari Abdullah bahwa Rasulullah Saw bersabda,
“Apabila mereka itu bertiga, janganlah dua orang (dari mereka) berbisik-bisikan
dengan tidak bersama yang ketiganya”.
D.
Kehujahan
Hadis Shahih
Para
ulama sependapat, bahwa hadis ahad yang shahih dapat dijadikan hujah untuk
menetapakan syari’at islam. Namun mereka berpendapat, apabila hadis kategori
ini dijadiakan hujah untuk menetapkan soal-soal akidah.
Perbedaan
pendapat diatas berpangkal pada
perbedaan penilaian mereka tentang faidah yang diperoleh dari hadis ahad
yang shahih, yaitu apakah hadis semacam ini memberi faidah qath’i atau zhanni. Ulama
yang menganggap hadis semacam ini memberi faidah qath’i sebagaimana hadis mutawatir, maka hadis-hadis tersebut dapat
dijadikan hujah untuk menetapkan masalah-masalah akidah. Akan tetapi yang
menganggap hanya memberi faidah zhanni,
berarti hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujah untuk menetapkan soal ini.
Para
ulama dalam hal ini terbagi kepada beberapa pendapat, antara lain : menurut
sebagian ulama ahli hadis, sebagaimana dikatakan an-Nawawi, memandang bahwa
hadis shahih riwayat al-Bukhari dan Muslim memberikan faidah qath’i. Menurut
sebagian ulama lainnya antara lain ibn hazm, bahwa semua hadis shahih
memberikan faidah qath’i, tanpa dibedakan apakah diriwayatkan oleh keduanya
atau bukan. Semua hadis , jika memenuhi syarat ke-shahih-annya adalah sama dalam memberikan faidahnya.[9]
E.
Tingkatan
Kualitas Hadis Shahih
Berdasarkan
penilaian terhadap martabat atau ranking-ranking, para ulama ahli hadis membagi
tingkatan kualitas hadis shahih menjadi tujuh, dengan urutan sebagai berikut :[10]
Hadis yang
disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim (Muttafaq’alaih).
Hadis yang di-takhrij (diriwayatkan) oleh al-Bukhari
sendiri.
Hadis yang di-takhrij oleh Muslim sendiri.
Hadis yang di-takhrij atas dasar syarat-syarat
al-Bukhari dan Muslim, akan tetapi keduanya tidak men-takhrij-nya.
Hadis yang di-takhrij atas dasar syarat-syarat
al-Bukhari, akan tetapi al-Bukhari tidak men-takhrij-nya.
Hadis yang di-takhrij atas dasar syarat-syarat Muslim,
akan tetapi Muslim tidak men-takhrij-nya.
Hadis yang
disahihkan oleh para ahli hadis selain al-Bukhari dan Muslim dengan tanpa
berpegangan kepada syarat-syarat keduanya.
Dari
segi sanadnya yang dipandang paling shahih, tingkatannya sebagai berikut :[11]
v Periwayatan
sanad yang paling shahih adalah dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ Mawla dari
Ibnu Umar.
v Periwayatan
sanad yang berada dibawah tingkat sanad pertama seperti Hammad bin Salamah dari
Tsabit dari Anas.
v Seperti
periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
F.
Kitab-Kitab
Hadis Shahih
Kitab-kitab
hadis shahih adalah sebagai berikut :[12]
Shahih Al
Bukhari (w.250 H)
Pertama
kali penghimpun khusus hadis shahih. Didalam terdapat 7.275 hadis yang termasuk
yang terulang-ulang, atau 4.000 hadis tanpa terulang-ulang.
Shahih Muslim
(w.261 H)
Didalamnya
terdapat 12.000 hadis termasuk yang terulang-ulang atau sekitar 4.000 hadis
tanpa terulang-ulang. Secara umum hadis al-Bukhari lebih shahih daripada
Muslim, karena persyaratan al-Bukhari lebih ketat muttashil dan tsiqahnya
sanad disamping terdapat kajian fikih yang tidak terdapat dalam shahih Muslim.
Shahih Ibn
Khuzaymah (w.311 H)
Shahih Ibn As
Sakan
Shahih Al Albani
Shahih Ibn
Hibban (w.354 H)
Mustadrak
Al-Hakim (w.405
[1]
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2010),
h.149.
[2]
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2002), h.223.
[3]
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1996), h.155.
[4]
Manna’ al Qaththa, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2005), h.117.
[5]
Ahmad Izzan dkk, Ulumul Hadis, (Bandung: Tafakur, 2011),
h.149.
[6]
Utang Ranuwijaya, Op.Cit., h.156.
[7]
Ahmad Izzan dkk, Op.Cit., h.149-150.
[8]
Totok Jumantoro, Op.Cit, h.225-227.
[9]
Utang Ranuwijaya, Op.Cit., h.166-167.
[10]
Ibid, h.168.
[11]
Abdul Majid Khon, Op.Cit., h.157-158.
[12]
Ibid, h.158-159.