Sabtu, 12 Oktober 2013

Pengertian dan Hakekat Guru serta Murid




BAB I
PENDAHULUAN

Dalam perpefktif pendidikan islam, tujuan hidup seorang muslim pada hakekatnya adalah mengabdi kepada Allah SWT. Pengabdian pada Allah sebagai realisasi dari keimanan yang diwujudkn dalam amal, tidak lain untuk mencapai derajat orang yang bertaqwa disisi-Nya. Beriman dan beramal saleh merupakan dua aspek kepribadian yang dicita-citakan oleh pendidikan islam. Sedangkan hakikat tujuan pendidikan islam adalah terbentuknya insan yang memiliki dimensi religius, berbudaya dan berkemampuan ilmiah, dalam istilah lain disebut insan kamil.
Untuk mengaktualkan tujuan tersebut, seorang pendidik memiliki tanggungjawab untuk mengantarkan peserta didik ke arah tujuan tersebut, yaitu dengan menjadikan sifat-sifat Allah sebagai bagian dari karakteristik keperibadiannya. Untuk itu, keberadaan pendidik dalam dunia pedidikan sangat krusial. Hal ini disebabkan kewajibannya tidak hanya mentransformasikan pengetahuan (knowledge) belaka, akan tetapi juga dituntut menginternalisasikan nilai-nilai (value/qimah) pada peserta didik. Bentuk nilai yang ditransformasikan dan disosialisasikan paling tidak meiputi: nilai etis, nilai pragmatis, nilai effect sensoric, dan nilai regius.
Untuk itu, makalah ini akan membahas pengertian dan hakikat guru atau pendidik serta murid atau peserta didik pada bab selanjutnya.
 
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Guru Atau Pendidik
1.      Secara Etimologi
Dalam konteks pendidikan islam, pendidik disebut juga dengan murabbi, muallim, dan muaddib.[1]
Kata atau istilah “murabbi” misalnya sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau rohani. Pemeliharaan seperti ini terlihat pada proses orang tua membesarkan anaknya. Mereka tentu berusaha memberikan pelayanan secara penuh agar anaknya tumbuh dengan fisik yang sehat dan kepribadian serta akhlak yang terpuji.
Sedangkan untuk istilah “mu’allim”, pada umumnya dipakai dalam membicarakan aktivitas yang lebih berfokus pada pemberian atau pemindahan ilmu pengetahuan  dari seorang yang  tahu kepada seorang yang tidak tahu. Adapun istilah “muaddib” menurut al-Attas, lebih luas dari istilah muallim dan lebih relevan dengan konsep pendidikan islam.[2]
Bagi mereka yang cendrung memakai istilah tarbiyah, tentu murabbi adalah sebutan yang tepat untuk seorang pendidik. Dan bagi yang merasa bahwa istilah ta’lim lebih cocok untuk pendidikan, sudah pasti ia menggunakan istilah mu’allim untuk menyebut seorang pendidik. Begitu juga halnya mereka yang cenderung menggunakan term ta’dib untuk mengistilahkan pendidikan, tentunya muaddib menjadi pilihannya dalam mengungkapkan atau mengistilahkan seorang pendidik. Dalam Kamus Bahasa Indonesia dinyatakan, bahwa pendidik adalah orang yang mendidik.[3]
Dalam perspektif islam, pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik, baik potensi afektif, kognitif dan psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam.[4]
2.      Secara Terminologi
Para pakar menggunakan rumusan yang berbeda tentang pendidik, yaitu:
a)    Moh. Fadhil al-Djamil menyebutkan, bahwa pendidik adalah orang yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik sehingga terangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia.
b)   Sutari Imam Barnadib mengemukakan, bahwa pendidik adalah setiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai kedewasaan peserta didik.[5]
c)    Zakiah Daradjat berpendapat bahwa pendidik adalah individu yang memenuhi kebutuhan pengetahuan, sikap dan tingkah laku peserta didik.[6]
d)   Ahmad Tafsir mengatakan bahwa pendidik dalam Islam sama dengan teori di Barat, yaitu siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik.
Di Indonesia disebut juga guru yaitu “orang yang digugu dan ditiru”.[7]
Di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003. pendidik adalah tenaga pendidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widya iswara, tutor, instruktur, pasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan.
Muhaimin menggunakan istilah-istilah di bawah ini, untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut.
1.    Ustadz adalah orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu prosese hasil kerja, serta sikap continous improvement.
2.    Mua’llim adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkan srta menjalankan fungsinya dalam kehidupan, menjalankan dimensi teoritis praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi, serta implementasi.
3.    Muraddib adalah orang yang mendidik dan menyiapkan peserta agar mampu berkreasi seta maampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan mala petaka bagi dirinya, masyarakat dan alalm sekitar.
4.    Mursyid adalah orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi dari atau menjadi pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didik.
5.    Mudarris adalah orang yang memilki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan dan berusaha mencerdaskan peserta didik, memberantas kebodohan mereka, serta meletih keterampilan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan.
6.    Muaddib adalah orang yang mampu menyiapkan peserta didik un tuk tanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitras di masa depan.[8]

Di dalam al-qur’an disebutkan bahwa pendidik itu ada 4, diantaranya:
1.    Allah SWT
Allah memiliki pengetahuan yang amat luas. Ia juga sebagai pencipta. Firman Allah SWT yang artinya: “segala pujian bagi Allah rabb bagi seluruh alam”. (Q.S. Al-Fatihah:1)
Sabda Rasulullah SAW yang artinya:
“Tuhanku telah adabani (mendidik)ku sehingga menjadi baik pendidikan”. (H.R  Al-Asyhari).
Al-Razi, yang membuat perbandingan antara Allah sebagai pendidik dengan manusia sebagai pendidik sangatlah berbeda, Allah sebagai pendidik mengetahui segala  kebutuhan orang yang mendidiknya sebab Dia adalah Zat Pencipta. Perhatian Allah tidak terbatas hanya terhadap sekelompok manusia saja, tetapi memperhatikan dan mendidik seluruh alam.[9]
2.    Nabi Muhammad SAW
Dalam firmannya yang artinya: ”sebagaimana kami telah sempurnakan nikmat kami kepadamu) kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-kitab dan hikmah (al-sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah:105).[10]
3.    Orang tua
Pendidik dalam lingkungan keluarga, adalah orang tua. Hal ini disebabkan karena secara alami anak-anak pada masa awal kehidupannya berada ditengah-tengah ayah dan ibunya. Dari merekalah anak mulai mengenal pendidikannya. Dasar pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup banyak tertanam sejak anak berada ditengah orang tuanya.
4.    Guru
Pendidik di lembaga pendidikan persekolahan disebut dengan guru, yang meliputi guru madrasah atau sekolah sejak dari taman kanak-kanak, sekolah menengah sampai dosen-dosen di perguruan tinggi, kiyai di pondok pesantren, dan lain sebagainya. Namun guru bukan hanya menerima amanat dari orang tua untuk mendidik, melainkan juga dari setiap orang yang memerlukan bantuan untuk mendidiknya.
Sebagai pemegang amanat, guru bertanggung jawab atas amanat yang diserahkan kepadanya, Allah SWT. menjelaskan:
Artinya:”sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat”. (Q.S An-Nisa’: 58).
B.     Keutamaan Pendidik
Dalam ajaran Islam, pendidik sangatlah dihargai kedudukannya. Hal ini dijelaskan oleh Allah maupun Rasulnya-Nya.
Firman Allah SWT.
Artinya:”Allah meningkatkan derajat orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Q.S. Al-Mursalat: 11)
Al-Ghazali menyatakan sebagai berikut: “seseorang yang berilmu dan kemudian mengamalkan ilmunya itu dialah yang disebut dengan orang besar di semua kerajaan langit, dia bagaikan matahari yang menerangi alam sedangkan ia mempunyai cahaya dalam dirinya, seperti minyak kasturi yang mengharumi orang lain karena ia harum. Seseorang yang menyibukkan dirinya dalam mengajarkan berarti dia telah memilih pekerjaan yang terhormat. Oleh karena itu hendaklah seseorang guru memperlihatkan dan memelihara adab dan sopan santun dalam tugasnya sebagai  seorang pendidik.” Keutamaan dan tingginya kedudukan guru dalam Islam merupakan realisasi ajaran Islam itu sendiri, Islam memuliakan pengetahuan itu didapat dari belajar dan mengajar, maka sudah pasti agama Islam memuliakan seorang pendidik.
C.    Hakekat Murid atau Peserta Didik
Peserta didik merupakan bagian dalam sistem pendidikan islam, peserta didik adalah obyek atau bahan mentah dalam proses transformasi pendidikan. Tanpa adanya peserta didik, keberadaan sistem pendidikan tidak akan berjalan. Karena dua faktor antara pendidik dan peserta didik merupakan komponen paling utama dalam suatu sistem pendidikan.[11]
Peserta didik merupakan “raw material”  (bahan mentah) dalam proses transformasi dalam pendidikan. Dalam membicarakan peserta didik, ada dua hal yang penting yang harus diperhatikan oleh pendidik yaitu : (1) potensi peserta didik, dan (2) kebutuhan peserta didik.
1.      Potensi Peserta Didik
Manusia diciptakan Allah bukan tanpa latar belakang dan tujuan. Hal ini tergambar dalam dialog Allah dan malaikat diawal penciptaanya. Tujuan penciptaan Adam sebagai nenek moyang manusia adalah sebagai khlifah. Dalam perspektif islam, potensi atau fitrah’ dapat dipahami sebagai kemampuan atau hidayah yang bersifat umum dan khusus yaitu:
a.    Hidayah Wudjaniyah yaitu potensi manusia yang berwujud insting atau naluri yang melekat dan langsung berfungsi pada saat manusia dilahirkan dimuka bumi.
b.    Hidayah Hisysyiyah yaitu potensi Allah yang diberikan kepada manusi dalam bentuk kemampuan indrawi sebagai penyempurnaan hidayah wujudiyah.
c.    Hidayah Aqliyah yaitu potensi akal sebagai penyempurnaan dari kedua hidayah diatas.
d.   Hidayah Diniyah yaitu petunjuk agama yang diberikan kepada manusia yang berupa keterangan tenteng hal-hal yang menyangkut yakinan dan aturan perbuatan yang tertulis dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
e.    Hidayah Taufiqiyah yaitu hidayah yang sifatnya khusus.[12]
2.      Kebutuhan Peserta Didik
Semua hal yang sangat perlu juga diperhatikan oleh seorang pendidik dalam membimbing peserta didik dalam kebutuhan mereka.
Al –Qussy, membagi kebutuhan manusia dalam dua kebutuhan pokok yaitu :
a.    Kebutuhan primer, yaitu kebutuhan jasmani seperti makan, minum, seks dan sebagainya.
b.    Kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan rohani.
Selanjutnya ia membagi kebutuhan rohaniah kepada enam macam yaitu:
a.    Kebutuhan kasih sayang
b.    Kebutuhan akan rasa aman
c.    Kebutuhan  akan rasa harga diri
d.   Kebutuhan akan rasa bebas
e.    Kebutuhan akan sukses
f.     Kebutuhan akan suatu kekuatan pembimbing atau pengendalian diri manusia, seperti pengetahuan lain yang ada pada setiap manusia berakal.[13]
D.    Dimensi-Dimensi Peserta Didik yang Akan di Kembangkan
1.    Dimensi Fisik (Jasmani)
Menurut Widodo Supriyono, manusia merupakan makhluk multidimensional yang berbeda-beda dengan makluk lainya. Secara garis besar, ia membagi manusia pada dua dimensi yaitu dimensi jasmani dan rohani. Secara rohani, manusia mempunyai potensi kerohanian yang tak terhingga banyaknya. Potensi-potensi tersebut Nampak dalam bentuk memehami sesuatu (ulil al-ba), meliputi kemampuan berpikir, mempergunakan akal, beriman bertaqwa, mengingat atau mengambil pelajaran, dan mentaati kebenaran firman tuhan, dan lain sebaginya.[14]
Zakiah Daradjat, membagi manusia kepada tujuh dimensi pokok yang masing-masingnya dapat dibagi kepada dimensi-dimensi kecil. Ketujuh dimensi tersebut adalah: dimensi fisik, akal, agama, akhlak, kejiwaan, rasa keindahan dan social kemasyarakatan.
Dalam pelaksanaan pendidikan jasmani, didalam al-quran dan hadis ditemukan prinsip-prinsip tentang pendidikan jasmani  diantaranya : firman Allah SWT:
·         “Bersihkan pakaianmu, jauhkan kejahatan”. (QS.al –Mudatsir:4-5)
·         “siapkan bagi merekan sesanggupmu untuk kekuatan”. (QS. Al-Anfal : 60)
·         “makan dan minumlah dan jangan kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak suka orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS. AL-A’raf : 31)
·         “ibu-ibu menyusukan anak-anaknya dua tahun penuh” (QS. Al-Bagarah : 233)
·         Sabda Rasulullah SAW : “cukuplah dosa manusia bahwa ia menyia-nyiakan orang yang harus diberi makan”. (Abu Daud, al-Nassai dan al-Mukmin).
·         Sabda Rasulullah SAW : “jika anjing menjilat bejana kamu hendaklah ia menyiramnya kemudian dibasuhnya tujuh kali”.
·         Sabda Rasulullah SAW : “jika seseorang kamu minum janganlah ia bernafas dalam behajana”.
2.    Dimensi Akal
Al-Ishfahami, membagi akal manusia kepada dua macam, yaitu :
a.      Aql al-Mathbu, yaitu akal yang merupakan pancaran dari Alllah sebagai fitrah ilahi. Akal ini menduduki posisi yang sangat tinggi. Namun demikian, akal ini tidak akan bisa berkembang dengan baik secara optimal, bila tidak dibarengi dengan kekuatan akal lainya yaitu aql-masmu’.
b.      Aql al-masmu; yaitu akal yang merupakan kemampuan menerima yang dapat dikembangkan oleh manusia. Akal ini bersifat aktif dan berkembang sebatas kemampuan yang dimilikinya lewat bantuan proses perinderaan, secara bebas. Untuk mengarahkan agar akal ini tetap berada di jalan Tuhanya, maka keberadaan akal masmu’ tidak dapat dilepaskan.[15]
3.    Dimensi Keberagamaan
Manusia adalah makhluk yang berketuhanan atau disebut homodivinous (makhlukyang percaya adanya tuhan) atau disebut juga homorelegius (makhluk yang beragama). Berdasarkan hasil riset dan observasi, hampir seluruh ahli ilmu jiwa sependapat bahwa pada diri manusia terdapat semacam keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal.
Dalam pandangan islam, sejak lahir manusia telah mempunyai jiwa agama, yaitu jiwa yang mengakui adanya zat yang Maha Pencipta dan Maha Mutlak yaitu Allah SWT. Sejak di dalam roh, manusia telah mempunyai komitmen bahwa Allah adanya Tuhanya. Pandangan ini bersumber pada firman Allah SWT :
Artinya : Dan (ingatlah ), ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah aku ini Tuhanmu?”. Mereka menjawab.”Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi “ (kami lakukan yang demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidaj mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Keesaan Allah)”. (QS. Al-A’’raf : 172).[16]
Muhammad Hasan Hamshi manafsirkan fitrah pada ayat diatas dengan ciptaan Allah, yaitu bahwa manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu, agama tauhid. Pandangan tersebut diperkuat oleh Syeh Muhammad Abduh dalam tafsirnya yang berpendapat  bahwa agama islam adalah agama fitrah. Demikian juga Abu Ala al-Muadudi menyatakan bahwa agama islam identik dengan watak tabi’I (human nature).
4.    Dimensi Akhlak
Salah satu dimensi manusia yang sangat diutamakan dalam pendidikan islam adalah akhlak. Pendidikan agman berkaitan rapat dengan pendidikan akhlak. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pendidikan akhlak dalam penegrtian islam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama. Sebab yang baik adalah yang dianggap baik oleh agama dan yang buruk adalah apa yang dianggap buruk oleh agama. Artinya, nilai-nilai akhlak dan keutamaan akhlak dalam masyarakat merupakan aturan yang diajarkan oleh agama. Dengan konsep ini, seorang muslim dikatakan sempurna dalam agamanya bila memiliki akhlak yang mulia, demikian pula sebaliknya. Filosof pendidikan islam sepakat, bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan islam . sebab, tujuan tertinggi pendidikan islam adalah pembinaan akhlak al-karim.[17]
Menurut Imam al-Ghazali akhlak merupakan tabiat manusia yang dapat dilihat dalam dua bentuk, yaitu: pertama, tabiat-tabiat fitrah, kekuatan tabiat pada asal kesatuaan tubuh dan berkelanjutan selama hidup. Kedua, akhlak yang muncul dari suatu perangai yang banyak diamalkan dan ditaati, menjadi bagian dan adat kebiasaan yang berurat berakar pada dirinya.
5.    Dimensi Rohani (Kejiwaan)
Dimensi kejiwaan merupakan suatu dimensi yang sangat penting dan memiliki pengaruh dalam mengendalikan keadaan manusia agar dapat hidup sehat, tentram dan bahagia. Penciptaan manusia mengalami kesempurnaan setelah Allah meniupkan ruh-Nya atas ciptaan-Nya. Firman Allah SWT :
Artinya : “maka apabila aku telah menyempurnakan kejadianya dan telah meniupkan kedalamnya ruh-ku, maka tunduk sujudlah kamu kepadanya”.(QS. Al –Hijjr : 29)
Sehubungan dengan ayat diatas al-Ghazali menjelaskan, bahwa : “ Insan adalah makhluk yang diciptkan dari tubuh yang dapat dilihat oleh pandangan dan jiwa yang bisa ditanggapi oleh akal dan bashirah , tetapi tidak dengan panca indera.[18]
6.    Dimensi Seni (Keindahan)
Seni adalah ekspresi roh dan berdaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Seni merupakan bagian dari hidup manusia. Allah telah menganugerahkan kepada manusia berbagai potensi rohani maupun indrawi (mata, telinga, dan lain sebaginya), maka nilai seni dapat diungkapkan oleh perorangan sesuai dengan kecenderunganya, atau oleh sekelompok masyarakat sesuai dengan budayanya, tanpa adanya batasan yang ketat kecuali yang digariskan Allah. Firman Allah AWT :
Artinya : “Maha Suci Allah dari segala kekuranganya dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. Al-Nahl1)
Sebagai manifestasi dan refleksi dari kehidupan manusia, maka seni rupa merupakan sarana bagi manusia untuk mencapai tujuan hidupnya, yaitu untuk beribadah kepada Allah dan melaksanakan fungsi kekhalifahannya di muka bumi.[19]
7.    Dimensi Sosial
Seorang manusia adalah makhluk individual dan secara bersamaan adalah makhluk social. Keserasian antara invidu dan masyarakat tidak mempunyai kontradiksi antara tujuan social dan tujuan individu. Dalam islam tanggungjawab tidak terbatas pada perorangan, tapi juga social sekaligus. Tanggungjawab perorangan pada pribadi merupakan asas, tapi pada saat bersamaan is tidak mengabaikan tanggungjawab social yang merupakan dasar pembentuk masyarakat.[20]
Dalam Al-Qur’an dan Hadist, ditemukan prinsip-prinsip tentang pendidikan social, diantaranya dapat terlihat pada sabda rasulullah SAW: “perumpamaan orang-orang beriman yang saling cinta, tolong menolong, dan kasih sayang diantara mereka adalah bagaikan suatu tubuh. Bila salah satu bagian dari tubuh kita itu merasakan kesakitan, maka seluruh tubuh akan merasakanya pula dengan menderita demam dan tidak dapat tidur”.


[1] Heris Hermawan, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2009), h.169.
[2] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h.56-57.
[3] Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), h.159.
[4] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h.42
[5] Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1993), h. 61.
[6] Zakiyah Daradjat, Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan, (Jakarta:Bulan Bintang, 1992). h.19.
[7] Bukhori Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), h.87.
[8] Ibid., h.89-100.
[9]Al-Razi dkk, Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut Al-Quran Serta Implementasinya, (Bandung: Diponegoro, 1991), h. 43.
[10] Heris Hermawan, Loc. Cit., h.120.
[11] Ibid., h.160
[12] Ibid., h.169-170.
[13] Ibid., h.172.
[14] Ibid., h.174.
[15] Ibid., h.176-177.
[16] Ibid., h.179.
[17] Ibid., h.180.
[18] Ibid., h.182.
[19] Ibid., h.184.
[20] Ibid., h.186.