Perkembangan Agama Pada Masa Remaja
A.
Pengertian Masa Remaja
Masa remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh seseorang dari
kanak-kanak menuju dewasa. Atau dapat dikatakan bahwa masa remaja adalah
perpanjangan masa kanak-kanak sebelum mencapai masa dewasa.[1]
Salzman mengemukakan bahwa masa remaja merupakan masa perkembangan
sikap tergantung (dependence) terhadap orangtua ke arah kemandirian (independence),
minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai
estetika dan isu-isu moral.[2]
Tahap ini merupakan tahap lanjutan dari teknik bermain peran pada
masa kanak-kanak. Usia remaja sering diistilahkan dengan kata ABG (anak baru
gede), karena pada usia ini mereka belum memasuki usia dewasa, tetapi sudah
melewati masa kanak-kanak. Para ahli psikologi mengatakan masa remaja sebagai
masa puber, yakni periode awal tumbuh dan berkembangnya seorang individu.[3]
B.
Perkembangan Rasa Agama
Perkembangan agama pada remaja ditandai oleh beberapa faktor
perkembangan rohani dan jasmani. Perkembangan itu antara lain menurut W.
Starbuck adalah :
1)
Pertumbuhan
pikiran dan mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa
kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap
ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama mereka pun sudah tertarik pada
masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.[4]
Perkembangan mental remaja ke arah berfikir logis (falsafi) itu,
juga mempengaruhi pandangan dan kepercayaannya kepada Tuhan.[5]
2)
Perkembangan
perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaaan
sosial, etis, dan estesis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang
terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong
dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya bagi remaja
yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah
didominasi dorongan seksual.[6]
3)
Pertimbangan
sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan
sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan
moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena
duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka para remaja lebih
cenderung jiwanya untuk bersikap materialis. Hasil penyelidikan Ernest Harms
terhadap 1.789 remaja Amerika antara usia 18-29 tahun menunjukan, bahwa 70%
pemikiran remaja ditujukan bagi kepentingan: keuangan, kesejahteraan,
kebahagiaan, kehormatan diri, dan masalah kesenangan pribadi lainnya. Sedangkan
masalah akhirat dan keagamaan hanya sekitar 3,6%, masalah sosial 5,8%.[7]
4)
Perkembangan
moral
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan
usaha untuk mencari proteksi.[8]
Rasa dosa itu tidak selamanya sama dalam semua keadaan, kadang-kadang
sangat dan kadang-kadang tidak terasa sama sekali, maka kebutuhan remaja
terhadap Tuhan juga kadang-kadang sangat dan kadang-kadang kurang. Sesuai
dengan keadaan jiwa remaja pada waktu tertentu.[9]
5)
Sikap
dan minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan
sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan
agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).[10]
Apabila remaja kurang mendapat bimbingan keagamaan dalam keluarga,
kondisi keluarga yang kurang harmonis, orangtua yang kurang memberi kasih
sayang dan berteman dengan kelompok sebaya yang kurang menghargai nilai-nilai
agama, maka kondisi ini akan memicu berkembangnya sikap dan perilaku remaja
yang kurang baik.[11]
6)
Ibadah
Berdasarkan penelitian oleh Ross dan Oskar Kupky, menunjukan bahwa
hanya 17% mengatakan bahwa sembayang bermanfaat untuk berkomonikasi dengan
Tuhan, sedangkan 26% di antaranya menganggap bahwa sembayang hanyalah merupakan
media untuk bermeditasi.[12]
C.
Sikap Remaja Terhadap Agama
Sikap remaja tidak dapat dipastikan dan diberi suatu patokan,
karena setiap sikap remaja dapat berubah sesuai dengan kondisi kejiwaannya,
maka agama dianggap baik baginya. Sebaliknya bila kondisi kejiwaan sedang kacau
maka agama tidak berguna.[13]
Dalam hal ini Zakiah Daradjat berpendapat, perasaan remaja terhadap
Tuhan bukanlah perasaan yang tetap, tidak berubah-ubah, tetapi adalah perasaan
yang tergantung kepada perubahan emosi yang sangat cepat, terutama pada masa
remaja pertama.[14]
Sikap remaja terhadap agama dapat dibagi sebagai berikut :
1)
Percaya
turut-turutan
Sesungguhnya banyak remaja percaya kepada Tuhan dan menjalankan
ajaran agama, karena mereka terdidik dalam lingkungan yang beragama, karena ibu
bapaknya orang beragama, teman-teman dan masyarakat sekelilingnya rajin
beribadah, maka mereka ikut percaya dan melaksanakan ibadah dan ajaran-ajaran
agama, sekedar mengikuti suasana lingkungan dimana ia hidup. Percaya yang
seperti inilah yang dinamakan percaya turut-turutan. Mereka seolah-olah apatis,
tidak ada perhatian untuk meningkatkan agama, dan tidak mau aktif dalam
kegiatan agama.[15]
Kepercayaan turut-turutan itu biasanya terjadi, apabila orangtuanya
memberikan didikan agama dengan cara yang menyenangkan, jauh dari pengalaman
pahit diwaktu kecil, dan setelah menjadi remaja, tidak mengalami pula peristiwa-peristiwa
atau hal-hal yang menggoncang jiwanya, sehingga cara kekanak-kanakan dalam
beragama itu terus berjalan, tidak perlu ditinjau kembali. Akan tetapi apabila
dalam usia remaja, ia menghadapi peristiwa yang mendorongnya untuk meneliti
kembali pengalaman waktu kecil, maka ketika itu kesadaranya akan timbul,
sehingga ia menjadi bersemangat sekali, ragu-ragu, atau anti agama.[16]
Percaya turut-turutan ini biasanya tidak lama, dan banyak terjadi
hanya pada masa remaja pertama (13-16 tahun).[17]
2)
Percaya
dengan kesadaran
Kesadaran agama atau semangat agama pada remaja itu, mulai dengan
cenderungnya remaja kepada meninjau dan meneliti kembali caranya beragama di
masa kecil dulu. Kepercayaan tanpa pengertian yang di terimanya waktu kecil itu
tidak memuaskan lagi, patuh dan tunduk kepada ajaran tanpa komentar dan alasan
tidak lagi menggembirakan. Jika ia misalnya dilarang melakukan sesuatu karena
agama, ia tidak puas, kalau alasannya hanya dengan dalil-dalil dan hukum mutlak
yang diambil dari ayat-ayat kitab suci Al-Qur’an atau hadis-hadis Nabi Muhammad
Saw. Mereka ingin menjadikan agama, sebagai suatu lapangan baru untuk
membuktikan pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama sekedar ikut-ikutan saja.[18]
3)
Kebimbangan
beragama
Kebimbangan remaja terhadap agama itu tidak sama, berbeda-beda
antara satu dengan lainnya, sesuai dengan kepribadiannya masing-masing. Ada
yang mengalami kebimbangan ringan, yang dengan cepat dapat di atasi dan ada
yang sangat berat sampai kepada berubah agama.[19]
4)
Tidak
percaya
Salah satu perkembangan yang mungkun terjadi pada akhir masa remaja
adalah mengingkari wujud Tuhan sama sekali dan menggantinya dengan keyakinan
lain. Atau mungkin pula akhirnya tidak mempercayai adanya Tuhan saja secara
mutlak. Dalam keadaan pertama, mungkin seseorang merasa gelisah, tapi dalam
keadaan kedua terselip di belakangnya kegoncangan jiwa.[20]
D.
Konflik dan Keraguan
Dari analisis hasil penelitiannya W. Starbuck menemukan penyebab
timbulnya keraguan remaja antara lain :
à Kepribadian, yang menyangkut salah satu tafsir dan jenis kelamin.
· Bagi orang yang memiliki kepribadian introvert, maka
kegagalan dalam mendapat pertolongan Tuhan akan menyebabkan salah tafsir akan
sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
· Perbedaan jenis kelamin dan kematangan merupakan faktor yang
menetukan dalam keraguan agama. Wanita yang lebih cepat matang dalam
perkembangannya lebih cepat menunjukan keraguan daripada remaja pria. Tetapi
sebaliknya, dalam kualitas dan kuantitas keraguan remaja putri lebih kecil
jumlahnya. Disamping itu, keraguan wanita lebih bersifat alami sedangkan pria
bersifat intelek.[21]
à Kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama.
Ada berbagai lembaga keagamaan, organisasi, dan aliran keagamaan
yang kadang-kadang menimbulkan kesan adanya pertentangan dalam ajarannya.
Pengaruh ini dapat menjadi penyebab timbulnya keraguan pada remaja. Demikan
pula tindak-tanduk pemuka agama yang tidak sepenuhnya menuruti tuntunan agama.[22]
à Pernyataan kebutuhan manusia.
Manusia memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah ada)
dan dorongan curiosity (dorongan ingin tahu). Berdasarkan faktor bawaan
ini maka keraguan memang harus ada pada diri manusia, karena hal itu merupakan
pernyataan kebutuhan manusia normal. Ia terdorong untuk mempelajari ajaran
agama dan kalau ada perbedaan-perbedaan yang kurang sejalan dengan apa yang
telah dimiliki akan timbul keraguan.[23]
à Kebiasaan.
Seseorang yang terbiasa akan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya
akan ragu menerima kebenaran ajaran yang baru diterimanya atau dilihatnya.[24]
à Pendidikan.
Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang serta tingkat pendidikan
yang dimilikinya akan mempengaruhi sikapnya terhadap ajaran agama. Remaja yang
terpelajar akan lebih kritis terhadap ajaran agamanya, terutama yang banyak
mengandung ajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi mereka memilki kemampuan
untuk menafsirkan ajaran agama yang dianutnya itu secara lebih rasional.[25]
à Pencampuran agama dan mistik
Para remaja merasa ragu untuk menentukan antara unsur agama dan
mistik. Sejalan dengan perkembangan masyarakat kadang-kadang secara tak
disadari tindak keagamaan yang mereka lakukan ditopang oleh praktik kebatinan
dan mistik. Pernyatuan unsur ini merupakan suatu dilema yang kabur bagi para
remaja.[26]
Keraguan yang demikian akan menjerumuskan ke arah munculnya konflik
dalam diri remaja, sehingga mereka dihadapkan kepada pemilihan antara mana yang
baik dan yang buruk, serta antara yang benar dan yang salah.[27]
Tingkat keyakinan dan ketaatan beragama para remaja, sebenarnya
banyak tergantung dari kemampuan mereka menyelesaikan keraguan dan konflik
batin yang terjadi dalam diri.[28]
Adanya Mazhab, Sekte, dan aliran dalam agama, dan masing-masing
pendukungnya mengklaim akan kebenarannya. Di pihak lain, tak jarang pula mereka
jumpai para tokoh dan pemimpin agama yang semula mereka idolakan menampilkan
perilaku yang kurang terpuji. Semuanya itu dapat menimbulkan kebingungan serta
tumbuhnya benih-benih keraguan terhadap agama yang mereka anut. Semula remaja
mengharapkan ajaran yang sarat akan nilai-nilai moral dan mampu menentramkan
batin, ternyata tidak sepenuhnya benar.[29]
Melalui pendekatan dan pemetaan nilai-nilai ajaran agama yang
lengkap dan utuh, setidaknya akan memberi kesadaran baru bagi remaja, bahwa agama
bukan sebagai alat pemasung kreativitas manusia, melainkan sebagai pendorong
utama. Dengan demikian remaja di harapkan akan termotivasi unuk mengenal ajaran
agama dalam bentuk yang sebenarnya. Agama yang mengandung nilai-nilai ajaran
yang sejalan dengan fitrah manusia, universal, dan bertumpuh pada pembentukan
sikap akhlak mulia.[30]
[1] Zakiah
Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), h. 82.
[2] Syamsu Yusuf
LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Rosda, 2004), h.
184.
[3] Taufiq Rohman
Dhohiri dkk, Sosiologi 1, (Jakarta: Yudhistira, 2006), h. 81.
[4] Jalaluddin, Psikologi
Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 74.
[5] Zakiah
Daradjat, Op. Cit., h. 87.
[6] Jalaluddin, Op.
Cit., h. 75.
[7] Ibid.,
h. 75-76.
[8] Ibid.,
h. 76.
[9] Zakiah
Daradjat, Op. Cit., h. 100.
[10] Jalaluddin, Op.
Cit., h. 76.
[11] Syamsu Yusuf
LN, Op. Cit., h. 205.
[12] Jalaluddin, Op.
Cit., h. 77.
[13] Aat Syafaat
dkk, Peran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h.
181.
[14] Ibid.,
h. 181.
[15] Zakiah
Daradjat, Op. Cit., h. 107.
[16] Ibid.,
h. 107.
[17] Ibid.,
h. 107.
[18] Ibid.,
h. 108-109.
[19] Ibid.,
h. 109.
[20] Ibid.,
h. 118.
[21] Jalaluddin, Op.
Cit., h. 78.
[22] Ibid., h.
78.
[23] Ibid.,
h. 79.
[24] Ibid.,
h. 79.
[25] Ibid.,
h. 79.
[26] Ibid.,
h. 79.
[27] Ibid.,
h. 80.
[28] Ibid.,
h. 80.
[29] Ibid.,
h. 80-81.
[30] Ibid.,
h. 84.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar