Selasa, 29 Januari 2013

perkembangan agama pada remaja

Perkembangan Agama Pada Masa Remaja
A.    Pengertian Masa Remaja
Masa remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh seseorang dari kanak-kanak menuju dewasa. Atau dapat dikatakan bahwa masa remaja adalah perpanjangan masa kanak-kanak sebelum mencapai masa dewasa.[1]
Salzman mengemukakan bahwa masa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orangtua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral.[2]
Tahap ini merupakan tahap lanjutan dari teknik bermain peran pada masa kanak-kanak. Usia remaja sering diistilahkan dengan kata ABG (anak baru gede), karena pada usia ini mereka belum memasuki usia dewasa, tetapi sudah melewati masa kanak-kanak. Para ahli psikologi mengatakan masa remaja sebagai masa puber, yakni periode awal tumbuh dan berkembangnya seorang individu.[3]

B.     Perkembangan Rasa Agama
Perkembangan agama pada remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmani. Perkembangan itu antara lain menurut W. Starbuck adalah :

1)   Pertumbuhan pikiran dan mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama mereka pun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.[4]
Perkembangan mental remaja ke arah berfikir logis (falsafi) itu, juga mempengaruhi pandangan dan kepercayaannya kepada Tuhan.[5]

2)   Perkembangan perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaaan sosial, etis, dan estesis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang religius pula. Sebaliknya bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual.[6]

3)   Pertimbangan sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. Karena duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis. Hasil penyelidikan Ernest Harms terhadap 1.789 remaja Amerika antara usia 18-29 tahun menunjukan, bahwa 70% pemikiran remaja ditujukan bagi kepentingan: keuangan, kesejahteraan, kebahagiaan, kehormatan diri, dan masalah kesenangan pribadi lainnya. Sedangkan masalah akhirat dan keagamaan hanya sekitar 3,6%, masalah sosial 5,8%.[7]

4)   Perkembangan moral
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi.[8]
Rasa dosa itu tidak selamanya sama dalam semua keadaan, kadang-kadang sangat dan kadang-kadang tidak terasa sama sekali, maka kebutuhan remaja terhadap Tuhan juga kadang-kadang sangat dan kadang-kadang kurang. Sesuai dengan keadaan jiwa remaja pada waktu tertentu.[9]

5)   Sikap dan minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).[10]
Apabila remaja kurang mendapat bimbingan keagamaan dalam keluarga, kondisi keluarga yang kurang harmonis, orangtua yang kurang memberi kasih sayang dan berteman dengan kelompok sebaya yang kurang menghargai nilai-nilai agama, maka kondisi ini akan memicu berkembangnya sikap dan perilaku remaja yang kurang baik.[11]

6)   Ibadah
Berdasarkan penelitian oleh Ross dan Oskar Kupky, menunjukan bahwa hanya 17% mengatakan bahwa sembayang bermanfaat untuk berkomonikasi dengan Tuhan, sedangkan 26% di antaranya menganggap bahwa sembayang hanyalah merupakan media untuk bermeditasi.[12]

C.    Sikap Remaja Terhadap Agama
Sikap remaja tidak dapat dipastikan dan diberi suatu patokan, karena setiap sikap remaja dapat berubah sesuai dengan kondisi kejiwaannya, maka agama dianggap baik baginya. Sebaliknya bila kondisi kejiwaan sedang kacau maka agama tidak berguna.[13]
Dalam hal ini Zakiah Daradjat berpendapat, perasaan remaja terhadap Tuhan bukanlah perasaan yang tetap, tidak berubah-ubah, tetapi adalah perasaan yang tergantung kepada perubahan emosi yang sangat cepat, terutama pada masa remaja pertama.[14]
Sikap remaja terhadap agama dapat dibagi sebagai berikut :
1)   Percaya turut-turutan
Sesungguhnya banyak remaja percaya kepada Tuhan dan menjalankan ajaran agama, karena mereka terdidik dalam lingkungan yang beragama, karena ibu bapaknya orang beragama, teman-teman dan masyarakat sekelilingnya rajin beribadah, maka mereka ikut percaya dan melaksanakan ibadah dan ajaran-ajaran agama, sekedar mengikuti suasana lingkungan dimana ia hidup. Percaya yang seperti inilah yang dinamakan percaya turut-turutan. Mereka seolah-olah apatis, tidak ada perhatian untuk meningkatkan agama, dan tidak mau aktif dalam kegiatan agama.[15]
Kepercayaan turut-turutan itu biasanya terjadi, apabila orangtuanya memberikan didikan agama dengan cara yang menyenangkan, jauh dari pengalaman pahit diwaktu kecil, dan setelah menjadi remaja, tidak mengalami pula peristiwa-peristiwa atau hal-hal yang menggoncang jiwanya, sehingga cara kekanak-kanakan dalam beragama itu terus berjalan, tidak perlu ditinjau kembali. Akan tetapi apabila dalam usia remaja, ia menghadapi peristiwa yang mendorongnya untuk meneliti kembali pengalaman waktu kecil, maka ketika itu kesadaranya akan timbul, sehingga ia menjadi bersemangat sekali, ragu-ragu, atau anti agama.[16]
Percaya turut-turutan ini biasanya tidak lama, dan banyak terjadi hanya pada masa remaja pertama (13-16 tahun).[17]

2)   Percaya dengan kesadaran
Kesadaran agama atau semangat agama pada remaja itu, mulai dengan cenderungnya remaja kepada meninjau dan meneliti kembali caranya beragama di masa kecil dulu. Kepercayaan tanpa pengertian yang di terimanya waktu kecil itu tidak memuaskan lagi, patuh dan tunduk kepada ajaran tanpa komentar dan alasan tidak lagi menggembirakan. Jika ia misalnya dilarang melakukan sesuatu karena agama, ia tidak puas, kalau alasannya hanya dengan dalil-dalil dan hukum mutlak yang diambil dari ayat-ayat kitab suci Al-Qur’an atau hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. Mereka ingin menjadikan agama, sebagai suatu lapangan baru untuk membuktikan pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama sekedar ikut-ikutan saja.[18]

3)   Kebimbangan beragama
Kebimbangan remaja terhadap agama itu tidak sama, berbeda-beda antara satu dengan lainnya, sesuai dengan kepribadiannya masing-masing. Ada yang mengalami kebimbangan ringan, yang dengan cepat dapat di atasi dan ada yang sangat berat sampai kepada berubah agama.[19]

4)   Tidak percaya
Salah satu perkembangan yang mungkun terjadi pada akhir masa remaja adalah mengingkari wujud Tuhan sama sekali dan menggantinya dengan keyakinan lain. Atau mungkin pula akhirnya tidak mempercayai adanya Tuhan saja secara mutlak. Dalam keadaan pertama, mungkin seseorang merasa gelisah, tapi dalam keadaan kedua terselip di belakangnya kegoncangan jiwa.[20]

D.    Konflik dan Keraguan
Dari analisis hasil penelitiannya W. Starbuck menemukan penyebab timbulnya keraguan remaja antara lain :
à      Kepribadian, yang menyangkut salah satu tafsir dan jenis kelamin.
·      Bagi orang yang memiliki kepribadian introvert, maka kegagalan dalam mendapat pertolongan Tuhan akan menyebabkan salah tafsir akan sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
·      Perbedaan jenis kelamin dan kematangan merupakan faktor yang menetukan dalam keraguan agama. Wanita yang lebih cepat matang dalam perkembangannya lebih cepat menunjukan keraguan daripada remaja pria. Tetapi sebaliknya, dalam kualitas dan kuantitas keraguan remaja putri lebih kecil jumlahnya. Disamping itu, keraguan wanita lebih bersifat alami sedangkan pria bersifat intelek.[21]
à      Kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama.
Ada berbagai lembaga keagamaan, organisasi, dan aliran keagamaan yang kadang-kadang menimbulkan kesan adanya pertentangan dalam ajarannya. Pengaruh ini dapat menjadi penyebab timbulnya keraguan pada remaja. Demikan pula tindak-tanduk pemuka agama yang tidak sepenuhnya menuruti tuntunan agama.[22]

à      Pernyataan kebutuhan manusia.
Manusia memiliki sifat konservatif (senang dengan yang sudah ada) dan dorongan curiosity (dorongan ingin tahu). Berdasarkan faktor bawaan ini maka keraguan memang harus ada pada diri manusia, karena hal itu merupakan pernyataan kebutuhan manusia normal. Ia terdorong untuk mempelajari ajaran agama dan kalau ada perbedaan-perbedaan yang kurang sejalan dengan apa yang telah dimiliki akan timbul keraguan.[23]

à      Kebiasaan.
Seseorang yang terbiasa akan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu menerima kebenaran ajaran yang baru diterimanya atau dilihatnya.[24]

à      Pendidikan.
Dasar pengetahuan yang dimiliki seseorang serta tingkat pendidikan yang dimilikinya akan mempengaruhi sikapnya terhadap ajaran agama. Remaja yang terpelajar akan lebih kritis terhadap ajaran agamanya, terutama yang banyak mengandung ajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi mereka memilki kemampuan untuk menafsirkan ajaran agama yang dianutnya itu secara lebih rasional.[25]

à      Pencampuran agama dan mistik
Para remaja merasa ragu untuk menentukan antara unsur agama dan mistik. Sejalan dengan perkembangan masyarakat kadang-kadang secara tak disadari tindak keagamaan yang mereka lakukan ditopang oleh praktik kebatinan dan mistik. Pernyatuan unsur ini merupakan suatu dilema yang kabur bagi para remaja.[26]

Keraguan yang demikian akan menjerumuskan ke arah munculnya konflik dalam diri remaja, sehingga mereka dihadapkan kepada pemilihan antara mana yang baik dan yang buruk, serta antara yang benar dan yang salah.[27]
Tingkat keyakinan dan ketaatan beragama para remaja, sebenarnya banyak tergantung dari kemampuan mereka menyelesaikan keraguan dan konflik batin yang terjadi dalam diri.[28]
Adanya Mazhab, Sekte, dan aliran dalam agama, dan masing-masing pendukungnya mengklaim akan kebenarannya. Di pihak lain, tak jarang pula mereka jumpai para tokoh dan pemimpin agama yang semula mereka idolakan menampilkan perilaku yang kurang terpuji. Semuanya itu dapat menimbulkan kebingungan serta tumbuhnya benih-benih keraguan terhadap agama yang mereka anut. Semula remaja mengharapkan ajaran yang sarat akan nilai-nilai moral dan mampu menentramkan batin, ternyata tidak sepenuhnya benar.[29]
Melalui pendekatan dan pemetaan nilai-nilai ajaran agama yang lengkap dan utuh, setidaknya akan memberi kesadaran baru bagi remaja, bahwa agama bukan sebagai alat pemasung kreativitas manusia, melainkan sebagai pendorong utama. Dengan demikian remaja di harapkan akan termotivasi unuk mengenal ajaran agama dalam bentuk yang sebenarnya. Agama yang mengandung nilai-nilai ajaran yang sejalan dengan fitrah manusia, universal, dan bertumpuh pada pembentukan sikap akhlak mulia.[30]












[1] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), h. 82.
[2] Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Rosda, 2004), h. 184.
[3] Taufiq Rohman Dhohiri dkk, Sosiologi 1, (Jakarta: Yudhistira, 2006), h. 81.
[4] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. 74.
[5] Zakiah Daradjat, Op. Cit., h. 87.
[6] Jalaluddin, Op. Cit., h. 75.
[7] Ibid., h. 75-76.
[8] Ibid., h. 76.
[9] Zakiah Daradjat, Op. Cit., h. 100.
[10] Jalaluddin, Op. Cit., h. 76.
[11] Syamsu Yusuf LN, Op. Cit., h. 205.
[12] Jalaluddin, Op. Cit., h. 77.
[13] Aat Syafaat dkk, Peran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 181.
[14] Ibid., h. 181.
[15] Zakiah Daradjat, Op. Cit., h. 107.
[16] Ibid., h. 107.
[17] Ibid., h. 107.
[18] Ibid., h. 108-109.
[19] Ibid., h. 109.
[20] Ibid., h. 118.
[21] Jalaluddin, Op. Cit., h. 78.
[22] Ibid., h. 78.
[23] Ibid., h. 79.
[24] Ibid., h. 79.
[25] Ibid., h. 79.
[26] Ibid., h. 79.
[27] Ibid., h. 80.
[28] Ibid., h. 80.
[29] Ibid., h. 80-81.
[30] Ibid., h. 84.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar