PENDAHULUAN
Struktur
organisasi dalam bidang pendidikan dan pengajaran ditiap negara berbeda-beda.
Hal ini bergantung dari struktur organisasi dan administrasi permerintahan
negara masing-masing. Di dalam negara yang yang berbentuk pemerintahan dan struktur
organisasi pemerintahannya cenderung kearah kediktatoran, dimana segala
kekuasaan dipusatkan pada satu orang atau segolongan orang, struktur organisasi
pendidikannya cenderung ke arah sentralisasi. Segala sesuatu yang menyangkut
bidang pendidikan ditentukan dan diselenggarakan oleh pusat secara sentral.
Sebaliknya
dalam Negara-negara yang menganut sisem demokrasi dalam pemerintahannya,
struktur organisasi pendidikannya disusun menurut pola-pola demokratis.
Kekuasaan dan penyelenggaraan pendidikan tidak dilakukan secara sentral,
melainkan dibagi-bagikan atau diserahakn kepada daerah-daerah, disesuaikan
dengan kondisi dan kepentingan daerah.
Demikianlah, struktur organisasi pendidikan yang pokok ada dua macam:
sentralisasi dan desentralisasi. Di antara kedua struktur tersebut terdapat
beberapa campuran, yakni yang lebih cenderung kearah sentralisasi mutlak dan
yang lebih mendekati desentralisasi tetapi beberapa bagian masih
diselenggarakan secara sentral.
Meskipun
demikian, dalam pelaksanaan strukstur oraganisasi, baik sentralisasi maupun
desentralisasi tetaplah timbul permasalahan yang menghambat jalannya proses
pendidikan di antaranya konflik yang terjadi antara manejemen sentralisasi dan
desentralisasi. Oleh sebab itu, makalah ini akan membahas tentang konflik
dikotomi menejemen sentralisasi vs desentralisasi.
PEMBAHASAN
KONFLIK DIKOTOMI MANAJEMEN
SENTRALISASI VS
DESENTRALISASI
A.
Manajemen Sentralisasi
Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat.
Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut Undang-Undang. Kelemahan
sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah
daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga
waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama.
Dinegara-negara
yang organisasi pendidikannnya dijalankan secara sentral, yakni kekuasaan dan
tanggung jawabnya dipusatkan pada suatu badan dipusat pemerintahan, maka
pemerintah daerah kurang sekali atau sama sekali tidak bisa mengambil bagian
dalam administrasi apapun ketika ada bagian-bagian yang dikerjakan oleh
pemerintah daerah atau wilayah–wilayah selanjutnya, semuanya hanyalah merupakan
pekerjaaan-pekerjaan perantra, sebagai penyambung atau penyalur ketetapan–ketetapan
dan intruksi-intruksi dari pusat untuk dilaksanakan di sekolah-sekolah.[1]
Di dalam struktur organisasi yang berbentuk
organisasi lini (line organization), garis perintah atau kekuasaan dan tanggung
jawab membentang tegak lurus dari atas kebawah atau dari pimpinan atasan atau
pimpinan atasan atau pusat sampai kepada orang yang paling bawah.[2]
Segala
sesuatu yang mengenai urusan-urusan pendidikan dari membentuk kebijakan, perencanaan,
penentuan struktur dan syarat-syarat personel, urusan kepegawaian sampai pada penyelenggaraan
bangunan-bangunan sekolah, penentuan kurikulum, alat-alat pelajaran, soal-soal
dan penyelenggaraan ujian-ujian dan sebagainya, semuanya ditentukan dan
ditetapkan oleh dan dari pusat. Sedangkan bawahan dan sekolah-sekolah hanya
merupakan pelaksana-pelaksana pasif dan tradisional semata. Sesuai dengan sistem
sentralisasi dalam organisasi dalam pendidikan ini, kepala sekolah dan guru-guru
dalam kekuasaan dan tanggung jawabnya, serta dalam prosedur-prosedur
pelaksanaan tugasnya, sangat dibatasi oleh peraturan-peraturan dan intruksi-intruksi
dari pusat yang diterimanya melalui hierarki atasannya. Segala kegiatan yang
dilakukan sekolah haruslah sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada, dan
setidak-tidaknya telah mendapat izin terlebih dahulu dari pusat sebelum mereka
berbuat yang menyimpang dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku.[3]
Dalam
sistem sentralisasi semacam ini ciri-ciri pokok yang sangat menonjol adalah
keharusan adanya uniformitas (keseragaman) yang sempurna bagi seluruh daerah
dilingkungan Negara itu. Keseragaman itu, eliputi hamper semua kegiatan
pendidikan, terutama disekolah-sekolah yang setingkat dan sejenis. Misalnya
keseragaman dalam organisasi sekolah, rencana pelajaran, buku-buku pelajaran,
metode-metode mengajar, soal-soal dan waktu penyelenggaraan ujian, dan
lain-lain tanpa memperhatikan keragaman dan keadaan masing-masing.[4]
Adapun
keburukan atau keberatan yang prinsipal adalah:
a. Bahwa
administrasi yang demikian cenderung kepada sifat-sifat otoriter dan birokratis.
Menyebabkan para pelaksana pendidikan, baik para pengawas maupun kepala sekolah
serta guru-guru menjadi orang-orang yang pasif dan bekerja secara rutin dan
tradisional belaka.
b.
Organisasi dan
administrasi berjalan sangat kaku dan seret, disebabkan oleh garis-garis
komunikasi antara sekolah dan pusat sangat panjang dan berbelit-belit, sehingga
kelancaran penyelesaian persoalan-persoalan kurang dapat terjamin.
c.
Karena terlalu
banyak kekuasaan dan pengawasan sentaral, timbul penghalang-penghalang bagi
inisiatif setempat, dan mengakibatkan uniformitas yang mekanis dalam
administrasi pendidikan yang biasanya hanya mampu untuk sekedar membawa
hasil-hasil pendidikan yang sedang atau sedikit saja.[5]
Dengan
adanya sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang
memperhatikan seperti :
· Totaliterisme penyelenggaraan pendidikan
· Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan,
evaluasi, hingga model pengembangan sekolah dan pembelajaran.
· Keseragaman pola pembudayaan masyarakat
· Melemahnya kebudayaan daerah
· Kualitas manusia yang robotic, tanpa inisiatif dan kreatifitas.
Dengan
demikian, sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, maka upaya mewujudkan
pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan
berpikir, mampu memecahkan masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam
kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati, memiliki keterampilan
interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat menjadi sangat sulit untuk
di wujudkan.
Jadi,
sentralisasi dalam pendidikan merupakan segala sesuatu yang mencakup berbagai
aspek dalam pendidikan seperti; mengenai urusan-urusan pendidikan dari
membentuk kebijakan, perencanaan, penentuan struktur dan kepegawaian sampai
pada penyelenggaraan bangunan-bangunan sekolah, penentuan kurikulum, alat-alat pelajaran,
soal-soal dan penyelenggaraan ujian-ujian dan sebagainya, semuanya ditentukan
dan ditetapkan oleh dan dari pusat tanpa ada campur tangan sedikitpun dari
daerah.
B.
Manajemen Desentralisasi
Desentralisasi adalah
adanya pembagian kewenangan oleh tingkat-tingkat organisasi, kepada organisasi
dibawahnya. Implikasi dari hal tersebut adalah desentralisasi akan membuat
tanggung jawab yang lebih besar kepada pimpinan dalam melaksanakan tugas serta
memberikan kebebasan untuk bertindak.dengan desentralisasi akan meningkatkan
independensi para administrator untuk berpikir dan bertindak dalam satu tim
tanpa mengorbankan kebutuhan organisasi.[6]
Jika desentralisasi dikaitkan dalam manajemen pendidikan
maka pengertiannya adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada daerah
untuk membuat keputusan manajemen dan menyusun perencanaan sendiri dalam
mengatasi masalah pendidikan dengan mengacu pada sistem pendidikan nasional.
Dinegara-negara
yang organisasi pendidikannya desentralisasi, pendidikan bukan urusan
pemerintah pusat melainkan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dan rakyat
setempat. Penyelenggaraan dan pengawasan sekolah-sekolah berada sepenuhnya
dalam tangan penguasa daerah. Campur tangan pemerintah pusat terbatas
kewajiban-kewajiban tentang pemberian tanah subsidi, penyelidikan-penyelidikan
pendidikan, nasihat-nasihat dan konsultasi, serta program pendidikan bagi
orang-orang luar negeri.[7]
Kemudian
pemerintah daerah membagi-bagikan lagi kekuasaanya pada daerah yang lebih kecil
lagi, seperti kabupaten, distrik, kecamatan dan seterusnya dalam
penyelenggaraan dan pembangunan sekolah sesuai dengan kemampuan,
kondisi-kondisi, dan kebutuhan masing-masing. Tiap daerah diberi otonomi yang
sangat luas meliputi anggaran biaya, rencana-rencana pendidikan, penentuan
guru, gaji-gaji guru atau pegawai sekolah, buku pelajaran juga tempat
pembangunan, pemakaian serta pemeliharaan. Dengan struktur organisasi
pendidikan yang dijalankan secara desentralisasi seperti ini, kepala sekolah
tidak semata-mata merupakan seorang guru kepala tetapi seorang pemimpin
profesional dengan tanggung jawab yang luas dan langsung terhadap hasil-hasil
yang dicapai sekolahnya. Ia bertanggung jawab langsung terhadap pemerintah dan
masyarakat setempat semua kegiatan sekolah yang dijalankan mendapat pengawasan
dan social control yang langsung dari
pemerintah dan masyarakat setempat karena kepala sekolah dan guru-gurunya
adalah petugas/karyawan pendidik yang dipilih, diangkat dan diberhentikan oleh
pemda setempat.[8]
Desentralisasi manajemen pendidikan berusaha untuk
mengurangi intervensi pejabat atau pusat terhadap persoalan-persoalan
pendidikan yang sepatutnya bisa diputuskan dan dilaksanakan oleh unit tataran
bawah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Sehingga diharapkan terjadi
pemberdayaaan peran unit dibawah atau peran rakyat dan masyarakat daerah. Akan
tetapi, walaupun begitu luasnya otonomi dalam pendidikan diberikan kepada
daerah, tetap harus konsisten dengan system konstitusi. Dan walaupun bidang
administrasi dan manajemen pendidikan termasuk bidang yang diserahkan dan wajib
dilaksanakan oleh daerah, namun perlu adanya ketegasan bidang-bidang garapan
apa yang menjadi wewenang daerah. Tampaknya, manajemen aspek-aspek pendidikan
yang berkaitan dengan identitas dan integritas bangsa memerlukan standarisasi
nasional melalui komitmen politik. Sedangkan manajemen aspek-aspek spesifik dan
modal penyelenggara pendidikan menjadi wewenang masing-masing daerah, sehingga
keinginan, kebutuhan dan harapan semua pihak dapat terpenuhi. Artinya,
pencapaian warga negarayang bermutu dapat diprediksi mempunyai kapabilitas dan
keunggulan kompetitif dalam percaturan global.
Daya saing
di dalam masyarakat bukanlah kemampuan untuk saling membunuh dan saling
menyingkirkan satu dengan yang lain tetapi di dalam rangka kerjasama yang
semakin lama semakin meningkat mutunya. Dunia terbuka, dunia yang telah menjadi
suatu kampung global (global village) menuntut kemampuan daya saing dari setiap
individu, setiap masyarakat, bahkan setiap bangsa. Eksistensi suatu masyarakat
dan bangsa hanya dapat terjamin apabila dia terus-menerus memperbaiki diri dan
meningkatkan kemampuanya. Ada empat faktor yang menentukan tingkat daya saing
seseorang atau suatu masyarakat. Faktor-faktor tersebut adalah intelegensi,
informasi, ide baru, dan inovasi.
Kebijakan
desentralisasi memiliki kekuatan antara lain:
a.
Sudah
merupakan kebijakan yang populis.
b.
Mendapat
dukungan yang kuat dari berbagai pihak, khususnya dari para wakil rakyat yang
menduduki kursi DPR-RI.
c.
Sebagai
hal yang telah lama di tunggu-tunggu menyusul adanya perubahan sosial politik.
d.
Kesiapan
anggaran yang cukup dengan ditetapkannya anggaran pendidikan sebesar 20 % dari
APBN tahun 2003.
e.
Efisiensi
perjalanan anggaran sebagai wujud pemangkasan birokrasi.[9]
Oleh karena
itu, sudah merupakan kebijakan yang populis, desentralisasi pendidikan pasti
didukung oleh berbagai lapisan masyarakat, khususnya masyarakat pendidikan di
daerah. Kekuatan lainnya adalah kesadaran yang tinggi dari masyarakat untuk
menghadapi perubahan. Termasuk dalam hal ini adalah kesadaran masyarakat
menyikapi desentralisasi pendidikan. Anggota masyarakat amat dituntut
partisipasinya dalam menjalani perubahan tersebut.
Kekuatan yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan dana
anggaran pendidikan yang cukup tinggi dibandingkan anggaran sebelumnya yaitu
kurang dari 4%. Kita berharap anggaran pendidikan yang disepakati 20% dari APBN
di jadikan pioritas utama sebelum penganggaran bidang lainnya.
Adapun
kelemahannya adalah:
a.
Karena otonomi
yang sangat luas, kemungkinan program pendidikan diseluruh negara akan
berbeda-beda diseluruh negara yang berbeda. Hal ini dapat menimbulkan
kemungkian perpecahan bangsa.
b.
Hasil pendidikan
dan pengajaran tiap-tiap daerah sangat berbeda-beda, baik mutu, sifat maupun
jenisnya, sehingga menyulitkan bagi pribadi murid dalam mempraktikkan
pengetahuan/kecakapannnya dikemudian hari di dalam masyarakat yang lebih luas.
c.
Kepala sekolah,
guru-guru, dan petugas-petugas pendidikan lainnya yang cenderung untuk menjadi
karyawan-karyawan yang materialistis, sedangkan tugas dan kewajiban guru pada
umumnya lain daripada karyawan yang bukan guru.
d.
Penyelenggaraan
dan pembiayaan pendidikan yang diserahkan kepada daerah mungkin akan
memberatkan beban masyarakat setempat.
e.
Kurang siapnya
SDM daerah terpencil serta tidak meratanya pendapatan asli daerah (PAD),
khususnya daerah-daerah miskin.
f.
Mental korup
yang telah memberdaya dan mendarah daging.
g.
Menimbulkan
raja-raja kecil didaerah surplus.
h.
Belum jelasnya
pos-pos pendidikan, sehingga akan cukup merepotkan Depdiknas dalam
mengalokasikannya.[10]
Ada berbagai
kemungkinan yang menyebabkan daerah tertentu belum siap menerima desentralisasi
pendidikan ini, yaitu:
1.
Kesiapan
daerah
a.
Sumber
daya manusia (SDM) belum memadai.
b.
Sarana
dan prasarana belum tersedia secara cukup dan mamadai.
c.
Anggaran
pendapat asli daerah (PAD) mereka sangat rendah.
d.
Secara
psikologis, mental mereka belum siap menghadapi sebuah perubahan.
e.
Mereka
juga gamang atau takut terhadap upaya pembaruan.
2.
Sikap
daerah
a.
Sebagian
diantara mereka menunjukkan kegembiraan karena hal itu sudah mereka
tunggu-tunggu.
b.
Ada
pula yang menyikapi kebijakan itu dengan biasa-biasa saja.
c.
Sikap
lain yang dapat dibaca dari masyarakat Indonesia yaitu sikap pesimistis.
d.
Sikap
skeptis yang ditunjukkan oleh sebagian pemda atau masyarakat memperlihatkan
ketidakpercayaan mereka akan maksud baik pemerintah pusat.
e.
Sikap
lain yang diperlihatkan oleh sebagian pemda yaitu sikap khawatir dan rasa
takut.
Jadi,
desentralisasi dalam hal pendidikan adalah pelimpahan wewenang dalam bidang
pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
C.
Dikotomi Manajemen Sentralisasi Vs Desentralisasi
Konsep desentralisasi dan sentralisasi mengacu pada sejauh mana
wewenang telah dilimpahkan, wewenang dari satu tingkatan manajemen kepada
tingkatan manajemen berikutnya yang berada di bawahnya, atau tetap ditahan pada
tingkat puncak (sentralisasi). Manfaat desentralisasi sama dengan manfaat
delegasi yaitu melepaskan bahan manajemen puncak, penyempurnaan pengambilan
keputusan, latihan, semangat kerja, dan inisiatif yang lebih baik pada
tingkatan yang lebih rendah. Manfaat-manfaat itu lebih menarik sehingga
mengganggu kita untuk berfikir desentralisasi sebagai hal yang baik dan
sentralisasi sebagai hal yang kurang baik. Namun demikian, desentralisasi
menyeluruh tanpa koordinasi dan integrasi atau pemaduan yang efisien, tanpa
pengendalian tetap bukan hal yang diharapkan. Oleh karena itu, persoalannya
bukan suatu organisasi harus melakukan desentralisasi, tetapi sejauh mana harus
didesentralisasi.[11]
Dalam pemikiran sentralisasi dan desentralisasi manajemen
pendidikan dasar H.A.R. Tilaar mengemukakan tujuh unsur yang merupakan
poros-poros penentu perumusan strategi manajemen. Ketujuh unsur itu adalah:
1)
Wawasan nusantara
Sentralisasi:
a.
Memperkuat
rasa kebangsaan da meningkatkan kohesi nasional.
b.
Memperkuat
wibawa pemerintah nasional.
Desentralisasi:
a.
Dapat
memperlemah kesatuan dan persatuan nasional.
b.
Dapat
mengarah kepada rasa kedaerah yang sempit.
c.
Dapat
mengurangi wibawa pemerintah secara nasional.
d.
Sebaliknya
dapat mengurangi konflik antara pusat dan daerah (konflik manajemen).
2)
Demokrasi
Sentralisasi:
a.
Memperlambat
proses demokrasi.
b.
Organisasi
kuat, tetapi kaku.
c.
Kurang
partisipasi atau pasif, kurang inisiatif.
d.
Cenderung
ke arah peyamarataan.
Desentralisasi:
a.
Proses
demokrasi berjalan secara partisipasi nyata.
b.
Memerlukan
organisasi yang fleksibel dan merata di seluruh daerah.
c.
Memupuk
kemandirian.
3)
Kurikulum
Sentralisasi:
a.
Mudah
dicapai konsensus.
b.
Sulit
diadaptasi pada kebutuhan lingkungan.
c.
Memelihara
budaya nasional.
d.
Sangat
membantu dalam perluasan kesempatan belajar dan mudah mengadakan inovasi.
Desentralisasi:
a.
Sulit
dicapai konsensus dalam merumuskan tujuan pendidikan karena keragaman
kebutuhan.
b.
Dapat
beradaptasi kepada tuntutan lingkungan sosial, budaya masyarakat.
c.
Relatif
sulit mengadakan eksperimen yang berwawasan nasional.
4)
Proses belajar mengajar
Sentralisasi:
a.
Kecenderungan
intelektualistik.
b.
Belajar
abstrak, tanpa pengalaman lingkungan.
c.
Evaluasi
sebagai alat standarisasi, dan media legitimasi pusat.
Desentralisasi:
a.
Sangat
kondusif untuk PBM.
b.
Sulit
menerapkan standar nasional ketidaksamaan mutu sangat nyata.
c.
Di
pihak lain pengawasan lebih efektif.
5)
Efisiensi
Sentralisasi:
a.
Condong
bersifat makro sehingga menyebabkan kesenjangan dalam kebutuhan tenaga
terampil.
b.
Cenderung
meningkatkan tinggal kelas yang mengakibatkan pemborosan.
Desentralisasi:
a.
Antara
penawaran dan permintaan tenaga kerja relatif ada kesesuaian.
b.
Cenderung
mengurangi tinggal kelas karena kurikulum yang relevan.
c.
Sangat
efisien dalam menggunakan sumber-sumber.
6)
Pembiayaan
Sentralisasi:
a.
Sulit
menjaring dan memadukan sumber-sumber daya pendidikan dalam masyarakat.
Desentralisasi:
a.
Dapat
memobilisasi sumber daya pendidikan, asal disertai partisipasi masyarakat dalam
pengelolaannya.
7)
Ketenagaan
Sentralisasi:
a.
Ketenagaan
disediakan pusat, sehingga kemungkinan ada kesulitan dalam penyebaran serta
penempatannya. Akhirnya, dapat mengakibatkan pemborosan.
Desentralisasi:
a.
Relatif
dapat dilakukan penyesuaian dengan kebutuhan nyata, termasuk untuk daerah
terpencil.[12]
Tabel
Perubahan Peran Negara dalam Pendidikan
PERANA
|
MASA LALU
|
SEKARANG dan MASA DEPAN
|
Pemerataan Pendidikan |
Birorientasi target |
Birorientasi Kualitas |
Kualitas |
Dicapai melalui evaluasi dan standarisasi semua melalui ujian terpusat dan
kurikulum baku yang bersifat nasional. |
Sebagai prioritas utama yang sesuai dengan kebutuhan daerah. |
Proses |
Tidak dipentingkan; yang penting ialah tercapainya target kuantitatif |
Sangat penting karena yang dipentingkan ialah perubahan tingkah laku dan
“outcome” pendidikan |
Metodologi |
Indoktrinasi |
Dialogis |
Manajemen |
Negara dan birokrasinya memegang peranan sentral |
Manajemen berpusat pada institusi sekolah |
Pelaksanaan servis Pendidikan |
Pelaku utama |
Pemerintah sebagi patner yang cukup menetapkan arah |
Perubahan sosial |
Terarah dan opresif |
Demokrasi dan grass-root |
Perkembangan demokrasi |
Menentukan bingkai kehidupan berdemokrasi terbatas pada prosedur |
Mengembangkan perubahan tingkah laku demokratis secara substantif |
Perkembangan sosial-ekonomi masyarakat setempat |
Bukan menjadi bahan pertimbangan penyusunan kurikulum |
Salah satu komponen pokok penyusunan kurikulum |
Perkembangan nilai-nilai moral dan agama |
Ditentukan oleh pemerintah pusat |
Berakar dari budaya dan agama setempat |
Nasionalisme |
Pemaksaan dari atas dan bersifat formalisti. Mengabaikan identitas daerh |
Pendekatan multikultural |
Pendanaan |
Seluruhnya penanggung pembiyaan pendidikan. Dana sebagai alat pelestarian
kekuasaan pemerintah. |
Selektif sebagai lembaga pemersatu nasional dalam pemerataan, kualita, dan
persatuan nasional |
Pelaksanaan wajib belajar 9-12 tahun |
Ditentukan secara pusat oleh pemerintah pusat |
Sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah. Pelaksanaanya secara bertahap
sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi daerah |
Jadi, desentralisasi maupun sentralisasi dalam bidang pendidikan
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, tetapi yang harus diutamakan
adalah mengambil kelebihan yang ada diantara keduanya kemudian menerapkannya
sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada dalam dunia pendidikan di Indonesia.
KESIMPULAN
Sentralisasi
adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu
instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah
digariskan menurut Undang-Undang.
Dalam sistem
sentralisasi semacam ini cri-ciri pokok yang sangat menonjol adalah keharusan
adanya uniformitas (keseragaman) yang sempurna bagi seluruh daerah dilingkungan
Negara itu. Keseragaman itu, eliputi hamper semua kegiatan pendidikan, terutama
disekolah-sekolah yang setingkat dan sejenis. Misalnya keseragaman dalam
organisasi sekolah, rencana pelajaran, buku-buku pelajaran, metode-metode
mengajar, soal-soal dan waktu penyelenggaraan ujian, dan lain-lain tanpa
memperhatikan keragaman dan keadaan masing-masing.
Desentralisasi adalah
adanya pembagian kewenangan oleh tingkat-tingkat organisasi, kepada organisasi
dibawahnya. Implikasi dari hal tersebut adalah desentralisasi akan membuat
tanggung jawab yang lebih besar kepada pimpinan dalam melaksanakan tugas serta
memberikan kebebasan untuk bertindak.dengan desentralisasi akan meningkatkan
independensi para administrator untuk berpikir dan bertindak dalam satu tim
tanpa mengorbankan kebutuhan organisasi.
Konsep desentralisasi dan sentralisasi mengacu pada sejauh mana
wewenang telah dilimpahkan, wewenang dari satu tingkatan manajemen kepada
tingkatan manajemen berikutnya yang berada di bawahnya, atau tetap ditahan pada
tingkat puncak (sentralisasi). Manfaat desentralisasi sama dengan manfaat
delegasi yaitu melepaskan bahan manajemen puncak, penyempurnaan pengambilan
keputusan, latihan, semangat kerja, dan inisiatif yang lebih baik pada
tingkatan yang lebih rendah. Manfaat-manfaat itu lebih menarik sehingga mengganggu
kita untuk berfikir desentralisasi sebagai hal yang baik dan sentralisasi
sebagai hal yang kurang baik. Namun demikian, desentralisasi menyeluruh tanpa
koordinasi dan integrasi atau pemaduan yang efisien, tanpa pengendalian tetap
bukan hal yang diharapkan. Oleh karena itu, persoalannya bukan suatu organisasi
harus melakukan desentralisasi, tetapi sejauh mana harus didesentralisasi.
Dalam pemikiran sentralisasi dan desentralisasi manajemen
pendidikan dasar H.A.R. Tilaar mengemukakan tujuh unsur yang merupakan
poros-poros penentu perumusan strategi manajemen. Ketujuh unsur itu adalah:
·
Wawasan
nusantara
·
Demokrasi
·
Kurikulum
·
Proses
belajar mengajar
·
Efisiensi
·
Pembiayaan
·
Pembiayaan
DAFTAR PUSTAKA
H.A.R.
Tilaar. Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan.
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008.
M.
Ngalim Purwanto. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2010.
Nanang
Fatah. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.
Sam
M. Chan, Analisis SWOT: Kebijakan
Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Tim
Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Manajemen
Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2012.
[1] M. Ngalim
Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2010), hlm. 128-129.
[2] Ibid.,
hlm.129.
[6] Tim Dosen
Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Manajemen
Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2012), hlm.23.
[7] M. Ngalim
Purwanto, Op. Cit., hlm.130.
[8] Tim Dosen
Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Op. Cit., hlm.
130-131.
[9] Sam M. Chan, Analisis
SWOT: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Jakarta: Rajawali Pers,
2010), hlm.10.
[10] Ibid., hlm.11.
[11] Nanang Fatah, Landasan
Manajemen Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 78.
[12] H.A.R. Tilaar,
Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2008), hlm.35-46.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar