Selasa, 08 Oktober 2013

Konflik Dikotomi Manajemen Sentralisasi VS Desentralisasi



PENDAHULUAN

Struktur organisasi dalam bidang pendidikan dan pengajaran ditiap negara berbeda-beda. Hal ini bergantung dari struktur organisasi dan administrasi permerintahan negara masing-masing. Di dalam negara yang yang berbentuk pemerintahan dan struktur organisasi pemerintahannya cenderung kearah kediktatoran, dimana segala kekuasaan dipusatkan pada satu orang atau segolongan orang, struktur organisasi pendidikannya cenderung ke arah sentralisasi. Segala sesuatu yang menyangkut bidang pendidikan ditentukan dan diselenggarakan oleh pusat secara sentral.
Sebaliknya dalam Negara-negara yang menganut sisem demokrasi dalam pemerintahannya, struktur organisasi pendidikannya disusun menurut pola-pola demokratis. Kekuasaan dan penyelenggaraan pendidikan tidak dilakukan secara sentral, melainkan dibagi-bagikan atau diserahakn kepada daerah-daerah, disesuaikan dengan kondisi  dan kepentingan daerah. Demikianlah, struktur organisasi pendidikan yang pokok ada dua macam: sentralisasi dan desentralisasi. Di antara kedua struktur tersebut terdapat beberapa campuran, yakni yang lebih cenderung kearah sentralisasi mutlak dan yang lebih mendekati desentralisasi tetapi beberapa bagian masih diselenggarakan secara sentral.
Meskipun demikian, dalam pelaksanaan strukstur oraganisasi, baik sentralisasi maupun desentralisasi tetaplah timbul permasalahan yang menghambat jalannya proses pendidikan di antaranya konflik yang terjadi antara manejemen sentralisasi dan desentralisasi. Oleh sebab itu, makalah ini akan membahas tentang konflik dikotomi menejemen sentralisasi vs desentralisasi.


PEMBAHASAN
KONFLIK DIKOTOMI MANAJEMEN SENTRALISASI VS
DESENTRALISASI

A.    Manajemen Sentralisasi
Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut Undang-Undang. Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama.
Dinegara-negara yang organisasi pendidikannnya dijalankan secara sentral, yakni kekuasaan dan tanggung jawabnya dipusatkan pada suatu badan dipusat pemerintahan, maka pemerintah daerah kurang sekali atau sama sekali tidak bisa mengambil bagian dalam administrasi apapun ketika ada bagian-bagian yang dikerjakan oleh pemerintah daerah atau wilayah–wilayah selanjutnya, semuanya hanyalah merupakan pekerjaaan-pekerjaan perantra, sebagai penyambung atau penyalur ketetapan–ketetapan dan intruksi-intruksi dari pusat untuk dilaksanakan di sekolah-sekolah.[1]
 Di dalam struktur organisasi yang berbentuk organisasi lini (line organization), garis perintah atau kekuasaan dan tanggung jawab membentang tegak lurus dari atas kebawah atau dari pimpinan atasan atau pimpinan atasan atau pusat sampai kepada orang yang paling bawah.[2]
Segala sesuatu yang mengenai urusan-urusan pendidikan dari membentuk kebijakan, perencanaan, penentuan struktur dan syarat-syarat personel, urusan kepegawaian sampai pada penyelenggaraan bangunan-bangunan sekolah, penentuan kurikulum, alat-alat pelajaran, soal-soal dan penyelenggaraan ujian-ujian dan sebagainya, semuanya ditentukan dan ditetapkan oleh dan dari pusat. Sedangkan bawahan dan sekolah-sekolah hanya merupakan pelaksana-pelaksana pasif dan tradisional semata. Sesuai dengan sistem sentralisasi dalam organisasi dalam pendidikan ini, kepala sekolah dan guru-guru dalam kekuasaan dan tanggung jawabnya, serta dalam prosedur-prosedur pelaksanaan tugasnya, sangat dibatasi oleh peraturan-peraturan dan intruksi-intruksi dari pusat yang diterimanya melalui hierarki atasannya. Segala kegiatan yang dilakukan sekolah haruslah sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada, dan setidak-tidaknya telah mendapat izin terlebih dahulu dari pusat sebelum mereka berbuat yang menyimpang dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku.[3]
Dalam sistem sentralisasi semacam ini ciri-ciri pokok yang sangat menonjol adalah keharusan adanya uniformitas (keseragaman) yang sempurna bagi seluruh daerah dilingkungan Negara itu. Keseragaman itu, eliputi hamper semua kegiatan pendidikan, terutama disekolah-sekolah yang setingkat dan sejenis. Misalnya keseragaman dalam organisasi sekolah, rencana pelajaran, buku-buku pelajaran, metode-metode mengajar, soal-soal dan waktu penyelenggaraan ujian, dan lain-lain tanpa memperhatikan keragaman dan keadaan masing-masing.[4]
Adapun keburukan atau keberatan yang prinsipal adalah:
a.    Bahwa administrasi yang demikian cenderung kepada sifat-sifat otoriter dan birokratis. Menyebabkan para pelaksana pendidikan, baik para pengawas maupun kepala sekolah serta guru-guru menjadi orang-orang yang pasif dan bekerja secara rutin dan tradisional belaka.
b.    Organisasi dan administrasi berjalan sangat kaku dan seret, disebabkan oleh garis-garis komunikasi antara sekolah dan pusat sangat panjang dan berbelit-belit, sehingga kelancaran penyelesaian persoalan-persoalan kurang dapat terjamin.
c.    Karena terlalu banyak kekuasaan dan pengawasan sentaral, timbul penghalang-penghalang bagi inisiatif setempat, dan mengakibatkan uniformitas yang mekanis dalam administrasi pendidikan yang biasanya hanya mampu untuk sekedar membawa hasil-hasil pendidikan yang sedang atau sedikit saja.[5]
Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang memperhatikan seperti :
·       Totaliterisme penyelenggaraan pendidikan
·       Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan, evaluasi, hingga model pengembangan sekolah dan pembelajaran.
·       Keseragaman pola pembudayaan masyarakat
·       Melemahnya kebudayaan daerah
·       Kualitas manusia yang robotic, tanpa inisiatif dan kreatifitas.
Dengan demikian, sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, maka upaya mewujudkan pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati, memiliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat menjadi sangat sulit untuk di wujudkan.
Jadi, sentralisasi dalam pendidikan merupakan segala sesuatu yang mencakup berbagai aspek dalam pendidikan seperti; mengenai urusan-urusan pendidikan dari membentuk kebijakan, perencanaan, penentuan struktur dan kepegawaian sampai pada penyelenggaraan bangunan-bangunan sekolah, penentuan kurikulum, alat-alat pelajaran, soal-soal dan penyelenggaraan ujian-ujian dan sebagainya, semuanya ditentukan dan ditetapkan oleh dan dari pusat tanpa ada campur tangan sedikitpun dari daerah.
B.     Manajemen Desentralisasi
Desentralisasi adalah adanya pembagian kewenangan oleh tingkat-tingkat organisasi, kepada organisasi dibawahnya. Implikasi dari hal tersebut adalah desentralisasi akan membuat tanggung jawab yang lebih besar kepada pimpinan dalam melaksanakan tugas serta memberikan kebebasan untuk bertindak.dengan desentralisasi akan meningkatkan independensi para administrator untuk berpikir dan bertindak dalam satu tim tanpa mengorbankan kebutuhan organisasi.[6]
Jika desentralisasi dikaitkan dalam manajemen pendidikan maka pengertiannya adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada daerah untuk membuat keputusan manajemen dan menyusun perencanaan sendiri dalam mengatasi masalah pendidikan dengan mengacu pada sistem pendidikan nasional.
Dinegara-negara yang organisasi pendidikannya desentralisasi, pendidikan bukan urusan pemerintah pusat melainkan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dan rakyat setempat. Penyelenggaraan dan pengawasan sekolah-sekolah berada sepenuhnya dalam tangan penguasa daerah. Campur tangan pemerintah pusat terbatas kewajiban-kewajiban tentang pemberian tanah subsidi, penyelidikan-penyelidikan pendidikan, nasihat-nasihat dan konsultasi, serta program pendidikan bagi orang-orang luar negeri.[7]
Kemudian pemerintah daerah membagi-bagikan lagi kekuasaanya pada daerah yang lebih kecil lagi, seperti kabupaten, distrik, kecamatan dan seterusnya dalam penyelenggaraan dan pembangunan sekolah sesuai dengan kemampuan, kondisi-kondisi, dan kebutuhan masing-masing. Tiap daerah diberi otonomi yang sangat luas meliputi anggaran biaya, rencana-rencana pendidikan, penentuan guru, gaji-gaji guru atau pegawai sekolah, buku pelajaran juga tempat pembangunan, pemakaian serta pemeliharaan. Dengan struktur organisasi pendidikan yang dijalankan secara desentralisasi seperti ini, kepala sekolah tidak semata-mata merupakan seorang guru kepala tetapi seorang pemimpin profesional dengan tanggung jawab yang luas dan langsung terhadap hasil-hasil yang dicapai sekolahnya. Ia bertanggung jawab langsung terhadap pemerintah dan masyarakat setempat semua kegiatan sekolah yang dijalankan mendapat pengawasan dan social control yang langsung dari pemerintah dan masyarakat setempat karena kepala sekolah dan guru-gurunya adalah petugas/karyawan pendidik yang dipilih, diangkat dan diberhentikan oleh pemda setempat.[8]
Desentralisasi manajemen pendidikan berusaha untuk mengurangi intervensi pejabat atau pusat terhadap persoalan-persoalan pendidikan yang sepatutnya bisa diputuskan dan dilaksanakan oleh unit tataran bawah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Sehingga diharapkan terjadi pemberdayaaan peran unit dibawah atau peran rakyat dan masyarakat daerah. Akan tetapi, walaupun begitu luasnya otonomi dalam pendidikan diberikan kepada daerah, tetap harus konsisten dengan system konstitusi. Dan walaupun bidang administrasi dan manajemen pendidikan termasuk bidang yang diserahkan dan wajib dilaksanakan oleh daerah, namun perlu adanya ketegasan bidang-bidang garapan apa yang menjadi wewenang daerah. Tampaknya, manajemen aspek-aspek pendidikan yang berkaitan dengan identitas dan integritas bangsa memerlukan standarisasi nasional melalui komitmen politik. Sedangkan manajemen aspek-aspek spesifik dan modal penyelenggara pendidikan menjadi wewenang masing-masing daerah, sehingga keinginan, kebutuhan dan harapan semua pihak dapat terpenuhi. Artinya, pencapaian warga negarayang bermutu dapat diprediksi mempunyai kapabilitas dan keunggulan kompetitif dalam percaturan global.
Daya saing di dalam masyarakat bukanlah kemampuan untuk saling membunuh dan saling menyingkirkan satu dengan yang lain tetapi di dalam rangka kerjasama yang semakin lama semakin meningkat mutunya. Dunia terbuka, dunia yang telah menjadi suatu kampung global (global village) menuntut kemampuan daya saing dari setiap individu, setiap masyarakat, bahkan setiap bangsa. Eksistensi suatu masyarakat dan bangsa hanya dapat terjamin apabila dia terus-menerus memperbaiki diri dan meningkatkan kemampuanya. Ada empat faktor yang menentukan tingkat daya saing seseorang atau suatu masyarakat. Faktor-faktor tersebut adalah intelegensi, informasi, ide baru, dan inovasi.
Kebijakan desentralisasi memiliki kekuatan antara lain:
a.     Sudah merupakan kebijakan yang populis.
b.    Mendapat dukungan yang kuat dari berbagai pihak, khususnya dari para wakil rakyat yang menduduki kursi DPR-RI.
c.     Sebagai hal yang telah lama di tunggu-tunggu menyusul adanya perubahan sosial politik.
d.    Kesiapan anggaran yang cukup dengan ditetapkannya anggaran pendidikan sebesar 20 % dari APBN tahun 2003.
e.     Efisiensi perjalanan anggaran sebagai wujud pemangkasan birokrasi.[9]

Oleh karena itu, sudah merupakan kebijakan yang populis, desentralisasi pendidikan pasti didukung oleh berbagai lapisan masyarakat, khususnya masyarakat pendidikan di daerah. Kekuatan lainnya adalah kesadaran yang tinggi dari masyarakat untuk menghadapi perubahan. Termasuk dalam hal ini adalah kesadaran masyarakat menyikapi desentralisasi pendidikan. Anggota masyarakat amat dituntut partisipasinya dalam menjalani perubahan tersebut.
Kekuatan yang tidak  kalah pentingnya adalah dukungan dana anggaran pendidikan yang cukup tinggi dibandingkan anggaran sebelumnya yaitu kurang dari 4%. Kita berharap anggaran pendidikan yang disepakati 20% dari APBN di jadikan pioritas utama sebelum penganggaran bidang lainnya.
Adapun kelemahannya adalah:
a.       Karena otonomi yang sangat luas, kemungkinan program pendidikan diseluruh negara akan berbeda-beda diseluruh negara yang berbeda. Hal ini dapat menimbulkan kemungkian perpecahan bangsa.
b.      Hasil pendidikan dan pengajaran tiap-tiap daerah sangat berbeda-beda, baik mutu, sifat maupun jenisnya, sehingga menyulitkan bagi pribadi murid dalam mempraktikkan pengetahuan/kecakapannnya dikemudian hari di dalam masyarakat yang lebih luas.
c.       Kepala sekolah, guru-guru, dan petugas-petugas pendidikan lainnya yang cenderung untuk menjadi karyawan-karyawan yang materialistis, sedangkan tugas dan kewajiban guru pada umumnya lain daripada karyawan yang bukan guru.
d.      Penyelenggaraan dan pembiayaan pendidikan yang diserahkan kepada daerah mungkin akan memberatkan beban masyarakat setempat.
e.       Kurang siapnya SDM daerah terpencil serta tidak meratanya pendapatan asli daerah (PAD), khususnya daerah-daerah miskin.
f.       Mental korup yang telah memberdaya dan mendarah daging.
g.      Menimbulkan raja-raja kecil didaerah surplus.
h.      Belum jelasnya pos-pos pendidikan, sehingga akan cukup merepotkan Depdiknas dalam mengalokasikannya.[10]

Ada berbagai kemungkinan yang menyebabkan daerah tertentu belum siap menerima desentralisasi pendidikan ini, yaitu:
1.    Kesiapan daerah
a.         Sumber daya manusia (SDM) belum memadai.
b.         Sarana dan prasarana belum tersedia secara cukup dan mamadai.
c.         Anggaran pendapat asli daerah (PAD) mereka sangat rendah.
d.        Secara psikologis, mental mereka belum siap menghadapi sebuah perubahan.
e.         Mereka juga gamang atau takut terhadap upaya pembaruan.
2.    Sikap daerah
a.         Sebagian diantara mereka menunjukkan kegembiraan karena hal itu sudah mereka tunggu-tunggu.
b.         Ada pula yang menyikapi kebijakan itu dengan biasa-biasa saja.
c.         Sikap lain yang dapat dibaca dari masyarakat Indonesia yaitu sikap pesimistis.
d.        Sikap skeptis yang ditunjukkan oleh sebagian pemda atau masyarakat memperlihatkan ketidakpercayaan mereka akan maksud baik pemerintah pusat.
e.         Sikap lain yang diperlihatkan oleh sebagian pemda yaitu sikap khawatir dan rasa takut.
Jadi, desentralisasi dalam hal pendidikan adalah pelimpahan wewenang dalam bidang pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

C.    Dikotomi Manajemen Sentralisasi Vs Desentralisasi
Konsep desentralisasi dan sentralisasi mengacu pada sejauh mana wewenang telah dilimpahkan, wewenang dari satu tingkatan manajemen kepada tingkatan manajemen berikutnya yang berada di bawahnya, atau tetap ditahan pada tingkat puncak (sentralisasi). Manfaat desentralisasi sama dengan manfaat delegasi yaitu melepaskan bahan manajemen puncak, penyempurnaan pengambilan keputusan, latihan, semangat kerja, dan inisiatif yang lebih baik pada tingkatan yang lebih rendah. Manfaat-manfaat itu lebih menarik sehingga mengganggu kita untuk berfikir desentralisasi sebagai hal yang baik dan sentralisasi sebagai hal yang kurang baik. Namun demikian, desentralisasi menyeluruh tanpa koordinasi dan integrasi atau pemaduan yang efisien, tanpa pengendalian tetap bukan hal yang diharapkan. Oleh karena itu, persoalannya bukan suatu organisasi harus melakukan desentralisasi, tetapi sejauh mana harus didesentralisasi.[11]
Dalam pemikiran sentralisasi dan desentralisasi manajemen pendidikan dasar H.A.R. Tilaar mengemukakan tujuh unsur yang merupakan poros-poros penentu perumusan strategi manajemen. Ketujuh unsur itu adalah:
1)    Wawasan nusantara
Sentralisasi:
a.    Memperkuat rasa kebangsaan da meningkatkan kohesi nasional.
b.    Memperkuat wibawa pemerintah nasional.
Desentralisasi:
a.    Dapat memperlemah kesatuan dan persatuan nasional.
b.    Dapat mengarah kepada rasa kedaerah yang sempit.
c.    Dapat mengurangi wibawa pemerintah secara nasional.
d.   Sebaliknya dapat mengurangi konflik antara pusat dan daerah (konflik manajemen).

2)    Demokrasi
Sentralisasi:
a.    Memperlambat proses demokrasi.
b.    Organisasi kuat, tetapi kaku.
c.    Kurang partisipasi atau pasif, kurang inisiatif.
d.   Cenderung ke arah peyamarataan.
Desentralisasi:
a.    Proses demokrasi berjalan secara partisipasi nyata.
b.    Memerlukan organisasi yang fleksibel dan merata di seluruh daerah.
c.    Memupuk kemandirian.

3)    Kurikulum
Sentralisasi:
a.    Mudah dicapai konsensus.
b.    Sulit diadaptasi pada kebutuhan lingkungan.
c.    Memelihara budaya nasional.
d.   Sangat membantu dalam perluasan kesempatan belajar dan mudah mengadakan inovasi.
Desentralisasi:
a.    Sulit dicapai konsensus dalam merumuskan tujuan pendidikan karena keragaman kebutuhan.
b.    Dapat beradaptasi kepada tuntutan lingkungan sosial, budaya masyarakat.
c.    Relatif sulit mengadakan eksperimen yang berwawasan nasional.

4)    Proses belajar mengajar
Sentralisasi:
a.    Kecenderungan intelektualistik.
b.    Belajar abstrak, tanpa pengalaman lingkungan.
c.    Evaluasi sebagai alat standarisasi, dan media legitimasi pusat.
Desentralisasi:
a.    Sangat kondusif untuk PBM.
b.    Sulit menerapkan standar nasional ketidaksamaan mutu sangat nyata.
c.    Di pihak lain pengawasan lebih efektif.

5)    Efisiensi
Sentralisasi:
a.    Condong bersifat makro sehingga menyebabkan kesenjangan dalam kebutuhan tenaga terampil.
b.   Cenderung meningkatkan tinggal kelas yang mengakibatkan pemborosan.
Desentralisasi:
a.    Antara penawaran dan permintaan tenaga kerja relatif ada kesesuaian.
b.   Cenderung mengurangi tinggal kelas karena kurikulum yang relevan.
c.    Sangat efisien dalam menggunakan sumber-sumber.

6)    Pembiayaan
Sentralisasi:
a.    Sulit menjaring dan memadukan sumber-sumber daya pendidikan dalam masyarakat.
Desentralisasi:
a.    Dapat memobilisasi sumber daya pendidikan, asal disertai partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya.

7)    Ketenagaan
Sentralisasi:
a.    Ketenagaan disediakan pusat, sehingga kemungkinan ada kesulitan dalam penyebaran serta penempatannya. Akhirnya, dapat mengakibatkan pemborosan.
Desentralisasi:
a.    Relatif dapat dilakukan penyesuaian dengan kebutuhan nyata, termasuk untuk daerah terpencil.[12]


Tabel Perubahan Peran Negara dalam Pendidikan

PERANA
MASA LALU
SEKARANG dan MASA DEPAN
Pemerataan Pendidikan
Birorientasi target
Birorientasi Kualitas
Kualitas
Dicapai melalui evaluasi dan standarisasi semua melalui ujian terpusat dan kurikulum baku yang bersifat nasional.
Sebagai prioritas utama yang sesuai dengan kebutuhan daerah.
Proses
Tidak dipentingkan; yang penting ialah tercapainya target kuantitatif
Sangat penting karena yang dipentingkan ialah perubahan tingkah laku dan “outcome” pendidikan
Metodologi
Indoktrinasi
Dialogis
Manajemen
Negara dan birokrasinya memegang peranan sentral
Manajemen berpusat pada institusi sekolah
Pelaksanaan servis
Pendidikan
Pelaku utama
Pemerintah sebagi patner yang cukup menetapkan arah
Perubahan sosial
Terarah dan opresif
Demokrasi dan grass-root
Perkembangan demokrasi
Menentukan bingkai kehidupan berdemokrasi terbatas pada prosedur
Mengembangkan perubahan tingkah laku demokratis secara substantif
Perkembangan sosial-ekonomi masyarakat setempat
Bukan menjadi bahan pertimbangan penyusunan kurikulum
Salah satu komponen pokok penyusunan kurikulum
Perkembangan nilai-nilai moral dan agama
Ditentukan oleh pemerintah pusat
Berakar dari budaya dan agama setempat
Nasionalisme
Pemaksaan dari atas dan bersifat formalisti. Mengabaikan identitas daerh
Pendekatan multikultural
Pendanaan
Seluruhnya penanggung pembiyaan pendidikan. Dana sebagai alat pelestarian kekuasaan pemerintah.
Selektif sebagai lembaga pemersatu nasional dalam pemerataan, kualita, dan persatuan nasional
Pelaksanaan wajib belajar 9-12 tahun
Ditentukan secara pusat oleh pemerintah pusat
Sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah. Pelaksanaanya secara bertahap sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi daerah

Jadi, desentralisasi maupun sentralisasi dalam bidang pendidikan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, tetapi yang harus diutamakan adalah mengambil kelebihan yang ada diantara keduanya kemudian menerapkannya sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada dalam dunia pendidikan di Indonesia.
KESIMPULAN

Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat. Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut Undang-Undang.
Dalam sistem sentralisasi semacam ini cri-ciri pokok yang sangat menonjol adalah keharusan adanya uniformitas (keseragaman) yang sempurna bagi seluruh daerah dilingkungan Negara itu. Keseragaman itu, eliputi hamper semua kegiatan pendidikan, terutama disekolah-sekolah yang setingkat dan sejenis. Misalnya keseragaman dalam organisasi sekolah, rencana pelajaran, buku-buku pelajaran, metode-metode mengajar, soal-soal dan waktu penyelenggaraan ujian, dan lain-lain tanpa memperhatikan keragaman dan keadaan masing-masing.
Desentralisasi adalah adanya pembagian kewenangan oleh tingkat-tingkat organisasi, kepada organisasi dibawahnya. Implikasi dari hal tersebut adalah desentralisasi akan membuat tanggung jawab yang lebih besar kepada pimpinan dalam melaksanakan tugas serta memberikan kebebasan untuk bertindak.dengan desentralisasi akan meningkatkan independensi para administrator untuk berpikir dan bertindak dalam satu tim tanpa mengorbankan kebutuhan organisasi.
Konsep desentralisasi dan sentralisasi mengacu pada sejauh mana wewenang telah dilimpahkan, wewenang dari satu tingkatan manajemen kepada tingkatan manajemen berikutnya yang berada di bawahnya, atau tetap ditahan pada tingkat puncak (sentralisasi). Manfaat desentralisasi sama dengan manfaat delegasi yaitu melepaskan bahan manajemen puncak, penyempurnaan pengambilan keputusan, latihan, semangat kerja, dan inisiatif yang lebih baik pada tingkatan yang lebih rendah. Manfaat-manfaat itu lebih menarik sehingga mengganggu kita untuk berfikir desentralisasi sebagai hal yang baik dan sentralisasi sebagai hal yang kurang baik. Namun demikian, desentralisasi menyeluruh tanpa koordinasi dan integrasi atau pemaduan yang efisien, tanpa pengendalian tetap bukan hal yang diharapkan. Oleh karena itu, persoalannya bukan suatu organisasi harus melakukan desentralisasi, tetapi sejauh mana harus didesentralisasi.
Dalam pemikiran sentralisasi dan desentralisasi manajemen pendidikan dasar H.A.R. Tilaar mengemukakan tujuh unsur yang merupakan poros-poros penentu perumusan strategi manajemen. Ketujuh unsur itu adalah:
·         Wawasan nusantara
·         Demokrasi
·         Kurikulum
·         Proses belajar mengajar
·         Efisiensi
·         Pembiayaan
·         Pembiayaan


DAFTAR PUSTAKA

H.A.R. Tilaar. Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008.
M. Ngalim Purwanto. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.
Nanang Fatah. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.
Sam M. Chan,  Analisis SWOT: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Manajemen Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2012.


[1] M. Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 128-129.
[2] Ibid., hlm.129.
[3] Ibid., hlm.129.
[4] Ibid., hlm.129.
[5] Ibid., hlm.129-130.
[6] Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Manajemen Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2012), hlm.23.
[7] M. Ngalim Purwanto, Op. Cit., hlm.130.
[8] Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Op. Cit., hlm. 130-131.
[9] Sam M. Chan, Analisis SWOT: Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.10.
[10] Ibid., hlm.11.
[11] Nanang Fatah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 78.
[12] H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hlm.35-46.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar