Musaqah, Muzara’ah, Mukhabarah, Dan Ji’alah
A. Musaqah
Musaqah terambil dari kata al-saqa,
yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya), atau
pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan
bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.
Musaqah, ialah: Mempergunakan buruh (orang upahan) untuk menyiram
tanaman, menjaganya, memeliharanya dengan memperoleh upah dari hasil yang
diperoleh dari tanaman itu, dibenarkan syara’.
Hukum ini disepakati para
sahabat, tabi’in dan imam-imam mazhab. Hanya Abu Hanifah sendiri, demikian
menurut riwayat, tidak mensahkan.
Menurut Asy Syafi’y dalam
Al Qadim yang dipilih oleh ulama mutaakhkhirin dari ashbabnya musyaqah
dibolehkan terhadap semuah pohon yang berbuah. Pendapat ini disetujui Abu
Hanifah dan Muhammad. Dalam Al Jadid, musaqah hanya dibenarkan terhadap batang
korma dan batang anggur saja, dan Kata Daud: Hanya dibenarkan mengenai batang
korma saja.
Menurut Hanabilah, al-musaqah mencakup dua masalah yaitu:
1. Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon
anggur, kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya yang dimakan sebagai bagian
tertentu dari buah pohon tersebut, seperti sepertiganya atau setengahnya.
2. Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum
ditamankan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanam pada tanahnya, yang menanam
akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya, yang kedua ini
disebut munashabah mugharasah karena pemilik menyerahkan tanah dan
pohon-pohon untuk ditanamkannya.
B. Muzara’ah
Menurut bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti yang
pertama al-muzara’ah yang berarti tharh al-zur’ah (melemparkan
tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar). Makna yang pertama adalah
makna majaz dan makna yang kedua ialah makna hakiki.
Ulama-ulama Hanafiyah berkata: “Muzara’ah
pada syara’, Ialah: suatu akad tentang pekerjaan di atas tanah oleh seseorang
dengan pemberian sebagian hasil, baik dengan cara menyewakan tanah dengan
sebagian hasil, ataupun yang empunya tanah mengupahkan yang bekerja dengan
pembagian hasil. Kata Abu Hanifah dan Muhammad: Boleh. Pendapat inilah yang
difatwakan dalam mazhab Hanafi. Dan Abu Hanifah berkata: Boleh muzara’ah kalau
kerja dan bibit kepunyaan bersama. Dengan demikian berartilah si pekerja
menyewa tanah dengan alat-alatnya dan berarti pula pemilik mengupah pekerjaan
dengan memberikan alat-alat dan bibit itu.”
Ulama-ulama Malikiyah berkata: “Muzara’ah pada syara’ ialah: suatu akad yang batal,
kalau tanah dari salah seorang sedang bibit dan alat dari orang lain. Muzara’ah
yang dibolehkan ialah berdasarkan upah. Ringkasnya, tidak boleh menyewakan,
atau mengupah dengan hasil yang diperoleh dari tanah. Dan boleh kalau dengan
upah yang tertentu.
Ulama-ulama Hanbaliyah berkata: Muzara’ah
ialah: orang yang mempunyai tanah yang dapat dipakai untuk bercocok tanam
memberikannya kepada seorang yang akan mengerjakan serta memberikan kepadanya
bibit, atas dasar diberikan kepadanya sebagian dari hasil bumi itu, sepertiga,
atau seperdua dengan tidak ditentukan banyak sukatan. Ringkasnya: Ulama-ulama
Hanbaliyah membolehkan muzara’ah dan hendaklah bibit itu diberikan oleh pemilik
tanah.
Sedangkan menurut
mu’tamad mazhab Syafi’iyah, “Muzara’ah (mengerjakan
tanah orang dengan memperoleh sebagian dari hasilnya), sedang bibit (biji) yang
dipergunakan kepunyaan pemilik tanah, tidak dibolehkan, karena tidak sah
menyewakan tanah dengan hasil yang diperoleh dari padanya.” Namun sebagian
ulama Syafi’iyah membolehkan, sama dengan musyaqah (memberi upah).
C. Mukhabarah
Muzara’ah dan mukhabarah memiliki
makna yang berbeda, pendapat tersebut dikemukakan oleh al-Rafi’i dan al-Nawawi.
Sedangkan menurut al-Qadhi Abu Thayid, muzara’ah dan mukhabarah
merupakan satu pengertian.
Mukhabarah adalah Kerja sama pengolahan pertanian antara
pemilik lahan dan penggarap, dengan pemilik lahan memberikan lahan pertanian
kepada si penggarap untuk ditanami dan diperlihara dengan imbalan tertentu
(persentase) dari hasil panen yang benihnya berasal dari penggarap.
Setelah diketahui definisi di atas, dapat dipahami
bahwa mukhabarah dan muzara’ah ada kesamaan dan ada pula
perbedaan. Persamaan ialah antara mukhabarah dan muzara’ah
terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya
kepada orang lain untuk dikelola. Perbedaan ialah pada modal, bila modal
berasal dari pengelola, disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan
dari pemilik tanah, disebut muzara’ah.
Imam Hanafi, Jafar dan Imam Syafi’i, tidak membolehkan
mukhabarah sebab tidak ada landasan yang membolehkan.
D. Ji’alah
Ji’alah ialah meminta agar mengembalikan
barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan. Rukun ji’alah yaitu lafazh,
orang yang menjanjikan upahnya, pekerjaan, dan upah.
Kalau orang yang kehilangan itu berseru kepada
masyarakat umum. Kemudian dua orang yang berkerja mencari barang itu, sampai
keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang dijanjikan tadi
berserikat antara kedunya.
“Membawa kembali budak
yang lari, berhak menerima upah, apabila ada disyaratkan.”
Hukum ini disepakati para mujtahidin.
Masing-masing pihak boleh
menghentikan perjanjian sebelum bekerja. Kalau yang membatalkan orang yang
bekerja, dia tidak mendapat upah, sekalipun ia sudah bekerja. Tetapi kalau yang
membatalkan adalah pihak yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut
upah sebanyak pekerjaan yang sudah di kerjakan.
Kata Abu Hanifah dan Ahmad: Berhak meminta upah walaupun tidak
menjadi uruf bahwa membawa kembali budak yang lari itu diberikan upah.
Kata Malik: Kalau sudah terkenal (susah ma’ruf) bahwa
mengembalikan budak lari diberikan upah, berhak ia menerima upah berdasarkan
kepada jauh dan dekatnya tempat budak itu diketemukan. Kalau tidak ma’ruf
demikian, tidaklah diberikan upah, hanya diganti ongkos yang telah
dikeluarkannya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar