Senin, 25 Februari 2013

Musaqah, Muzara'ah, Mukhabarah, dan Ji'alah


Musaqah, Muzara’ah, Mukhabarah, Dan Ji’alah

A.  Musaqah
Musaqah terambil dari kata al-saqa, yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya), atau pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.
Musaqah, ialah: Mempergunakan buruh (orang upahan) untuk menyiram tanaman, menjaganya, memeliharanya dengan memperoleh upah dari hasil yang diperoleh dari tanaman itu, dibenarkan syara’.
Hukum ini disepakati para sahabat, tabi’in dan imam-imam mazhab. Hanya Abu Hanifah sendiri, demikian menurut riwayat, tidak mensahkan.
Menurut Asy Syafi’y dalam Al Qadim yang dipilih oleh ulama mutaakhkhirin dari ashbabnya musyaqah dibolehkan terhadap semuah pohon yang berbuah. Pendapat ini disetujui Abu Hanifah dan Muhammad. Dalam Al Jadid, musaqah hanya dibenarkan terhadap batang korma dan batang anggur saja, dan Kata Daud: Hanya dibenarkan mengenai batang korma saja.
Menurut Hanabilah, al-musaqah mencakup dua masalah yaitu:
1.    Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon anggur, kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya yang dimakan sebagai bagian tertentu dari buah pohon tersebut, seperti sepertiganya atau setengahnya.
2.    Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditamankan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanam pada tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya, yang kedua ini disebut munashabah mugharasah karena pemilik menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk ditanamkannya.

B.  Muzara’ah
Menurut bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti yang pertama al-muzara’ah yang berarti tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar). Makna yang pertama adalah makna majaz dan makna yang kedua ialah makna hakiki.
Ulama-ulama Hanafiyah berkata: “Muzara’ah pada syara’, Ialah: suatu akad tentang pekerjaan di atas tanah oleh seseorang dengan pemberian sebagian hasil, baik dengan cara menyewakan tanah dengan sebagian hasil, ataupun yang empunya tanah mengupahkan yang bekerja dengan pembagian hasil. Kata Abu Hanifah dan Muhammad: Boleh. Pendapat inilah yang difatwakan dalam mazhab Hanafi. Dan Abu Hanifah berkata: Boleh muzara’ah kalau kerja dan bibit kepunyaan bersama. Dengan demikian berartilah si pekerja menyewa tanah dengan alat-alatnya dan berarti pula pemilik mengupah pekerjaan dengan memberikan alat-alat dan bibit itu.”
Ulama-ulama Malikiyah berkata: “Muzara’ah pada syara’ ialah: suatu akad yang batal, kalau tanah dari salah seorang sedang bibit dan alat dari orang lain. Muzara’ah yang dibolehkan ialah berdasarkan upah. Ringkasnya, tidak boleh menyewakan, atau mengupah dengan hasil yang diperoleh dari tanah. Dan boleh kalau dengan upah yang tertentu.
Ulama-ulama Hanbaliyah berkata: Muzara’ah ialah: orang yang mempunyai tanah yang dapat dipakai untuk bercocok tanam memberikannya kepada seorang yang akan mengerjakan serta memberikan kepadanya bibit, atas dasar diberikan kepadanya sebagian dari hasil bumi itu, sepertiga, atau seperdua dengan tidak ditentukan banyak sukatan. Ringkasnya: Ulama-ulama Hanbaliyah membolehkan muzara’ah dan hendaklah bibit itu diberikan oleh pemilik tanah.
Sedangkan menurut mu’tamad mazhab Syafi’iyah, “Muzara’ah (mengerjakan tanah orang dengan memperoleh sebagian dari hasilnya), sedang bibit (biji) yang dipergunakan kepunyaan pemilik tanah, tidak dibolehkan, karena tidak sah menyewakan tanah dengan hasil yang diperoleh dari padanya.” Namun sebagian ulama Syafi’iyah membolehkan, sama dengan musyaqah (memberi upah).

C.  Mukhabarah
Muzara’ah dan mukhabarah memiliki makna yang berbeda, pendapat tersebut dikemukakan oleh al-Rafi’i dan al-Nawawi. Sedangkan menurut al-Qadhi Abu Thayid, muzara’ah dan mukhabarah merupakan satu pengertian.
Mukhabarah adalah Kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dengan pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan diperlihara dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen yang benihnya berasal dari penggarap.
Setelah diketahui definisi di atas, dapat dipahami bahwa mukhabarah dan muzara’ah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaan ialah antara mukhabarah dan muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola. Perbedaan ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola, disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah, disebut muzara’ah.
Imam Hanafi, Jafar dan Imam Syafi’i, tidak membolehkan mukhabarah sebab tidak ada landasan yang membolehkan.

D. Ji’alah
Ji’alah ialah meminta agar mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan. Rukun ji’alah yaitu lafazh, orang yang menjanjikan upahnya, pekerjaan, dan upah.
Kalau orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum. Kemudian dua orang yang berkerja mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang dijanjikan tadi berserikat antara kedunya.
“Membawa kembali budak yang lari, berhak menerima upah, apabila ada disyaratkan.”
Hukum ini disepakati para mujtahidin.
Masing-masing pihak boleh menghentikan perjanjian sebelum bekerja. Kalau yang membatalkan orang yang bekerja, dia tidak mendapat upah, sekalipun ia sudah bekerja. Tetapi kalau yang membatalkan adalah pihak yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah di kerjakan.
Kata Abu Hanifah dan Ahmad: Berhak meminta upah walaupun tidak menjadi uruf bahwa membawa kembali budak yang lari itu diberikan upah.
Kata Malik: Kalau sudah terkenal (susah ma’ruf) bahwa mengembalikan budak lari diberikan upah, berhak ia menerima upah berdasarkan kepada jauh dan dekatnya tempat budak itu diketemukan. Kalau tidak ma’ruf demikian, tidaklah diberikan upah, hanya diganti ongkos yang telah dikeluarkannya saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar