Selasa, 14 Mei 2013

Profesi Kepustakawanan


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latarbelakang Masalah
Terdapat berbagai bahasan atau definisi yang diberikan terhadap istilah profesi. Winarno Surakhman dalam makalahnya yang berjudul hak profesional seorang guru pada kongres PGRI ke-13 tahun 1973 menyatakan bahwa guru adalah suatu profesi. Lebih lanjut menyatakan bahwa : “sebuah profesi, dalam arti yang umum adalah bidang pekerjaan dan pengabdian tertentu yang karena hakikat dan sifatnya membutuhkan persyaratan dasar, keterampilan teknis dan sikap kepribadian tertentu”. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa profesi dalam bentuk yang modern ditandai dengan adanya pedoman tingkah laku yang khusus, yang tergolong di dalamnya  sebagai satu korps.
Sedangkan Soekarman mendefinisikan bahwa profesi adalah sejenis pekerjaan atau lapangan pekerjaan yang untuk melaksanakannya dengan baik memerlukan keterampilan dan atau keahlian khusus yang diperoleh dari pendidikan dan atau pelatihan secara berkesinambungan sesuai dengan perkembangan bidang pekerjaan atau lapangan pekerjaan yang bersangkutan .
Dari definisi profesi tersebut diatas, dapat dipahami bahwa profesi (profession) adalah suatu pekerjaan yang memerlukan persyaratan khusus.
Kepustakawanan menyangkut penerapan pengetahuan dalam hal pengadaan, penggunaan, serta pendayagunaan buku di perpustakaan serta perluasan jasa perpustakaan.
Jadi dalam hal ini, yang dimaksud dengan profesi kepustakawanan adalah pustakawan.

B.       Rumusan Masalah
1.         Apa yang dimaksud kepustakawanan sebagai profesi ?
2.         Apa saja organisasi profesional yang berhubungan dengan perpustakaan?

C.      Tujuan Masalah
1.      Mengetahui makna kepustakawanan sebagai profesi.
2.      Mengetahui organisasi profesional yang berhubungan dengan perpustakaan.

BAB II
PEMBAHASAN
PROFESI KEPUSTAKAWANAN
A.      Kepustakawanan Sebagai Profesi
Kalau menyimak perkembangan profesi, timbul tanda tanya apakah pustakawan dapat digolongkan kedalam profesi atau tidak. Hal ini tergantung pada kemampuan dan tanggapan pustakawana terhadap profesi dan jasa yang diberikan pustakawan serta pandangan masyarakat terhadap pustakawan.[1]
Adapun kriteria profesi menurut Mc. Garry dalam bukunya The Changging Context Information menyatakan lima persyaratan dan kelengkapan suatu profesi yaitu:
a.    Memiliki keterampilan khusus.
b.    Memiliki organisasi profesi yang akan menentukan tingkat-tingkat keahlian dan menetapkan keanggotaan.
c.    Memilikim kode etik yang mengatur prilaku yang berdasarkan atas dua loyalitas kepada tugas pokok dan clien.
d.   Memiliki dedikasi antar anggota dalam peningkatan profesi dan pendidikan.
e.    Dalam melaksanakan tugasnya mengutamakan kesejahteraan umum.[2]
Dari berbagai persyaratan yang dituntut, pustakawan dapat dianggap sebagai profesi karena sebagian besar kriteria telah memiliki antara lain:
a.    Memiliki lembaga pendidikan, baik secara formal maupun informal.
b.    Memiliki organisasi profesi, yaitu pustakawan di Indonesia sejak tahun 1973 memilik organisasi Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI), Congres of Southeast Asia Librarians (CONSAL) untuk tingkat regional, dan International Association and Institutions (IFLA) untuk tingkat internasional.
c.    Memiliki kode etik, pustakawan Indonesia yang menjadikan acuan moral bagi anggota dalam melaksanakan profesi.
d.   Memiliki majalah ilmiah sebagai sarana pengembangan ilmu serta komunikasi antar anggota seprofesi.
e.    Memiliki tunjangan profesi, meskipun belum memadai, pustakawan di Indonesia mendapatkan tunjangan fungsional seperti halnya guru, dosen, dan peneliti.[3]
Pustakawan Indonesia yang ideal harus memiliki dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.    Aspek profesional
Pustakawan Indonesia berpendidikan formal ilmu perpustakaan. Pustakawan juga dituntut gemar membaca, trampil, kreatif, cerdas, tanggap, berwawasan luas, tetapi memerlukan disiplin ilmu tertentu di pihak lain, berwawasan lingkungan, mentaati etika profesi pustakawan, mempunyai penelitian serta penyuluhan.
b.    Aspek kepribadian
Pustakawan Indonesia harus bertaqwa kepada Tuhan YME, bermoral pancasila, mempunyai tanggung jawab sosial dan kesetiakawanan, dan lain-lain.[4]
Pustakawan sebagai profesi harus memiliki beberapa ketrampilan, antara lain :
1.    Adaptability
Pustakawan sebaiknya adaptif memanfaatkan teknologi informasi. Feret dan Marcinek menyatakan bahwa pustakawan  harus berjalan seirama dengan perubahan teknologi yang terus bergerak maju dan pustakawan harus mampu beradaptasi sebagai pencari dan pemberi informasi dalam bentuk apapun. Pustakawan dalam memberikan informasi tidak lagi bersumber pada buku teks dan jurnal yang ada di rak, tetapi dengan memanfaatkan Internet untuk mendapatkan informasi yang segar bagi penggunanya.
2.    People skills (soft skills)
Pustakawan adalah mitra intelektual yang memberikan jasanya kepada pengguna. Mereka harus lihai berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dengan penggunannya. Agar dalam berkomunikasi dapat lebih impresif dengan dasar win-win solution maka perlu people skills yang handal. People skills ini dapat dikembangkan dengan membaca, mendengarkan kaset-kaset positif, berkenalan dengan orang positif, bergabung dengan organisasi positif lain dan kemudian diaplikasikan dalam aktivitasnya sehari-hari.
3.    Berpikir positif
4.    Personal Added Value
Pustakawan tidak lagi lihai dalam mengatalog, mengindeks, mengadakan bahan pustaka dan pekerjaan rutin lainnya, tetapi di era global ini pustakawan harus mempunyai nilai tambahnya. Misalnya piawai sebagai navigator unggul.
5.    Berwawasan Enterpreneurship                            
Informasi adalah kekuatan. Informasi adalah mahal, maka seyogyanya pustakawan harus sudah mulai berwawasan enterpreneurship agar dalam perjalanan sejarahnya nanti dapat bertahan.
6.    Team Work – Sinergi
Di dalam era global yang ditandai dengan ampuhnya Internet dan membludaknya informasi, pustakawan seharusnya tidak lagi bekerja sendiri. Mereka harus membentuk team kerja untuk bekerjasama mengelola informasi.
Dengan enam ketrampilan di atas diharapkan pustakawan akan terus berkembang menjalankan tugasnya seiring dengan perubahan jaman yang begitu cepat. Profesionalisme pustakawan akan lebih mendarah daging dan menjiwai setiap aktivitasnya.
B.       Organisasi Profesional
Ada beberapa organisasi profesional yang berhubungan dengan perpustakaan.
1.         American Library Association (ALA)
ALA didirikan pada tanggal 6 Oktober 1876 di Phildelpia AS, yang terbentuk setelah adanya konferensi pustakawan yang juga dihadiri oleh Melvil Dewey. Organisasi tersebut merupakan organisasi perpustakaan tertua dan terbesar di dunia yang beranggotakan sekitar 35.000 anggota yang terdiri dari 30.000 anggota dan 5.000 anggota badan korporasi. ALA berkantor di Chicago, Illinois dan mempunyai staf sebanyak 275 orang.
Pengurus besar ALA sebanyak 150 orang yang mengadakan rapat dua kali dalam setahun, serta ada pertemuan dewan eksekutif yang dilaksanakan 4 kali dalam setahun, kadang-kadang lebih.
        Sumber keuangan ALA didapat dari iuran anggota, penjualan terbitan ALA serta sumbangan beberapa yayasan. ALA terbagai atas 56 cabang (chapters) serta 13 divisi sesuai dengan kebutuhan pustakawan dan jasa perpustakaan. Divisi yang ada ialah Children Service Division, Library Administration Division, dan Young Adult Service Division. Divisi dan komisi yang dibentuk bertugas melaksanakan lebih lanjut program ALA, seperti menyusun  panduan pengkatalogan, jasa referensi, melakukan seminar dan pendidikan berkelanjutan bagi pustakawan.
Majalah resmi ALA berjudul American Libraries (tahun 1907-1969 berjudul ALA Bulettin) yang terbit 11 kali setahun dan dibagikan cuma-cuma untuk anggotanya, selain majalah ALA juga menerbitkan buku dan laporan yang penting bagi bagi pustakawan dan pimpinan perpustakaan.
2.         Library Association (LA)
Library Association (LA) merupakan organisasi pustakawan Inggris, berdiri tahun 1877 bermarkas di London, selama berlangsungnya International Library Conference di London. Pada tahun 1898 LA memperoleh Royal Charter yang merupakan pengakuan pemerintah Inggris terhadap oraganisasi tersebut. Pada tahun-tahun pertama berdirinya LA menghadapi banyak kesulitan, hal yang sama terjadi pada tahun 1920an.
Mula-mula menyelenggarakan pendidikan pustakawan dan lulusanya mendapat ijazah dari LA, dan pada tahun 1970an kegiatan tersebut dihentikan karena sudah ada berbagai sekolah perpustakaan yang menghasilkan lulusan sesuai dengan standar LA.
LA giat menyelenggarakan penataran, kursus penyegar, pendidikan berkesinambungan agar pustakawan praktisi tetap mampu mengikuti perkembangan dalam bidang masing-masing.
Fungsi LA lainnya membuat direktori pustakawan terdaftar yang disebut Chartered Librarian atau pustakawan yang terdaftar pada LA, menyelenggarakan kongres nasional tiap tahun, serta melaksanakan konferensi, lokakarya, seminar dan sejenisnya.
Terbitan LA adalah Library Association Record, Journal of Librarianship, Library Association Year Book, British Technology Index, British Humanity Index, Radials Bulletin, Library and Information Abstract (LISA).
3.         Association of Special Libraries and Information Bureaux (ASLIB)
Association of Special Libraries and Information Bureaux (berdiri tahun 1924) merupakan cermin dari kekuatan peranan pustakawan khusus, yang bermarkas di London. Anggota ASLIB saat ini berjumlah 5000 anggota, namun lebih dari tiga perempatnya adalah lembaga atau perpustakaan, sedangkan anggota perorangan merupakan minoritas. ASLIB bekerja sama dengan LA, Institute of Information Scientist dan Society of Archivist dalam memperjuangkan tenaga yang bergerak dalam bidang informasi.
Pada tahun 1950 ASLIB dan LA menerbitkan British National Bibliography dan Katalog Induk majalah berjudul Union Cataloque of Periodicals.
4.         International Federationof Library Association (IFLA)
Berdiri pada tahun 1927 dengan markas besarnya di Den Haag belanda, angggota IFLA terbatas pada organisasi pustakawan dan perpustakaan tidak menerima anggota perorangan. Pada mulanya IFLA merupakan kepanjangan dari International Federationof Library Association diubah menjadi International Federation of Library Association and Institution.
Terbatas pada organisasi pustakawan, perpustakaan, sekolah perpustakaan serta lembaga lain (dikelompokan sebagai Associate Member). Saat ini  angggota IFLA sekitar 240 anggota penuh dan 1000 Associate Member.
IFLA giat dalam kegiatan kepustakawanan (misal dalam bidang pengkatalogan, standar perpustakaan, statistik serta topik lain yang berkaitan). Disamping itu IFLA juga menerbitkan IFLA Annual, IFLA Journal (terbit setahun empat kali).
5.         Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI)
Adanya berbagai oraganisasi pustakawan tidak selalu berdampak baik bagi profesi pustakawan, maka beberapa pustakawan mulai mengadakan penjajagan pembentukan organisasi  profesi yang bertaraf nasional. Pada bulan Januari 1973 diadakan pertemuan penjajakan di Bandung, yang dihadiri oleh sisa Pengurus Besar APDI Pusat, APADI Cabang Jakarta, Bogor, Bandung, Himpunan Pustakawan Chusus Indonesia serta Himpunan Pustakawan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada pertemuan itu dihasilkan kesepakatan untuk melangsungkan Kongres Pustakwan se-Indonesia. Kongres tersebut dilaksanakan tanggal 5-7 Juli 1973. Hasil Kongres ialah peleburan berbagai organisasi pustakawan menjadi satu wadah tunggal Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI).
Dengan tujuan yang tertuang dalam pasal 5 Anggaran Dasar IPI, sebagai berikut:
1.        Menghimpun, menampung, serta menyalurkan aspirasi dan kreasi dari mereka yang berprofesi dalam ilmu perpustakaan dan ilmu pengetahuan lainnya yang berkaitan dan atau bekerja dalam bermacam-macam jenis perpustakaan atau badan-badan lain yang ruang lingkungannya berkaitan dengan perpustakaan.
2.        Mengusahakan mereka yang termasuk dalam pasal 5 ayat 1 Anggaran Dasar ini pada tempat yang semestinya di dalam masyarakat.
3.        Meningkatkan, mengembangkan dan mengamalkan ilmu perpustakaan demi kemajuan pendidikan, ilmu pengetahuan serta kesejahteraan masyarakat.
4.        Menempatkan ilmu perpustakaan dan ilmu pengetahuan lainnya yang berkaitan pada tempat yang semestinya di antara ilmu pengetahuan.[5]
Dalam salah satu pertemuan diadakan diskusi panel tentang kepustakwanan dan pembahasan tentang keilmuan ilmu perpustakaan, hal tersebut mendapat perhatian besar dari kalangan pustakawan karena untuk pertama kalinya IPI membahas tentang Ilmu Perpustakaan. 
 
BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Pustakawan dapat dikatakan sebagai profesi karena telah memenuhi kriteria-kriteria tertentu yaitu memiliki lembaga pendidikan, baik secara formal maupun informal, memiliki organisasi profesi, memiliki kode etik, memiliki majalah ilmiah, dan memiliki tunjangan profesi.
Ada beberapa organisasi profesional yang berhubungan dengan perpustakaan.
1.         American Library Association (ALA)
2.         Library Association (LA)
3.         Association of Special Libraries and Information Bureaux (ASLIB)
4.         International Federationof Library Association (IFLA)
5.         Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI)
6.        Saran
Sebenarnya pustakawan dapat dikatakan sebagai profesi karena telah memenuhi kriteria sebagai profesi seperti yang telah dijelaskan pada bab pembahasan. Tetapi kadang kala masyarakat memiliki pandangan yang berbeda tentang apakah pustakawan bisa dikatakan sebagai profesi.
Setelah memahami pembahasan di atas, ternyata banyak organisasi profesional pustakawan. Dengan demikian bisa menjadi refrensi untuk pustakawan Indonesia agar lebih maju dan meningkatan mutu pelayanan berdasarkan tujuan yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Sulistyo. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Hamady Harahap, Basyral dkk. Kiprah Pustakawan: Seperempat Abad Ikatan Pustakawan Indonesia 1973-1998. Jakarta: Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia, 1998.
Hermawan S., Rachman dkk. Etika Kepustakawanan: Suatu Pendekatan terhadap Kode Etik Pustakawan Indonesia. Jakarta: Sagung Seto, 2006.
http://dprasta.blogspot.com/2010/04/organisasi-profesi-pustakawan.html
http://imamblora.wordpress.com/2008/04/11/berita-untuk-pustakawan/
http://sigitsinau.wordpress.com/2010/10/18/26/
Sodarsono, Blasius. Antologi Kepustakawanan Indonesia. Jakarta: Sagung Seto, 2006.


[1] Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 148.
[2] Rachman Hermawan S. dkk, Etika Kepustakawanan: Suatu Pendekatan terhadap Kode Etik Pustakawanan Indonesia, (Jakarta: Sagung Seto, 2006), h. 65.
[3] Ibid., hh. 68-69.
[4] Basyral Hamidy Harahap dkk, Kiprah Pustakawan: Seperempat Abad Ikatan Pustakawan Indonesia 1973-1998, (Jakarta: Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia, 1998), hh. 82-83.
[5] Blasius Sudarsono, Antologi Kepustakawanan Indonesia, (Jakarta: Sagung Seto, 2006), h. 332.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar